Problem Utama DPR: Lemahnya Representasi Publik

Diposting Oleh : Benjamin Tukan


Penyebab utama menurunnya kinerja DPR dinilai karena lembaga ini belum benar-benar menjadi representasi rakyat, konstituennya. Konstituen atau pemilih belum berdaya, karena tak mempunyai kekuatan untuk mengontrol “wakil”-nya di Senayan. Apalagi menarik dukungannya jika kinerja anggota dewan tidak maksimal.


Demikianlah pendapat yang mengemuka dalam diskusi publik membahas hasil temuan LSPP tentang rendahnya kinerja DPR, Selasa (30/5). Para panelis yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Bomer Pasaribu, Staf Ahli DPR Partogi Nainggolan dan Peneliti LIPI Syamsudin Haris. Sementara dari LSPP tampil Bejo Untung.

Tidak jelasnya sistem representasi DPR juga menyebabkan para anggota dewan tidak tegas dalam menentukan sikap, sehingga yang banyak terjadi adalah kompromi. Salah satu bentuk kompromi adalah dalam hal pembentukan fraksi. Di dalam Tata Tertib DPR diatur bahwa fraksi hanya boleh terbentuk jika mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Secara otomatis, partai yang tidak mencapai angka itu harus bergabung dengan partai lain. Padahal, belum tentu ada kesamaan visi dan misi di antara partai-partai tersebut.

“Bahkan sekarang ada fraksi yang anggotanya hanya 9 orang saja,” ungkap Bomer menegaskan. Terlepas dari pernyataan Bomer tersebut—data Sekretariat Jenderal menunjukkan minimal anggota fraksi yang ada sekarang ini adalah 13 orang, yaitu Fraksi Partai Damai Sejahtera—tapi yang jelas minimnya jumlah anggota dalam satu fraksi akan menimbulkan problem tersendiri. Sebagaimana telah ditetapkan bahwa DPR terdiri dari alat-alat kelengkapan, utamanya adalah Komisi yang sekarang ini jumlahnya ada 11. Ini artinya, fraksi yang jumlah anggotanya 13 orang hanya dapat memenuhi tempat di komisi saja.

Padahal selain komisi juga ada alat kelengkapan lain, di antaranya adalah Panitia Khusus (Pansus) yang dalam satu kali masa sidang jumlahnya bisa lebih dari 20. Sebagaimana Komisi, Pansus juga mesti beranggotakan secara merata berdasarkan unsur fraksi. Pada fraksi yang jumlah anggotanya banyak tak masalah. Tetapi bagi fraksi kecil ini akan menyebabkan anggota merangkap keanggotaan Pansus. Seorang anggota fraksi kecil bisa merangkap lebih dari 8 pansus. Ini tentu saja berpengaruh terhadap proses kinerjanya. Apalagi bila dikaitkan dengan temuan LSPP bahwa banyak anggota DPR yang meninggalkan ruangan saat sidang masih berlangsung, justru karena alasan akan mengikuti rapat Pansus di tempat lain.

Lemahnya Representasi
Selain menyebabkan ketidaktegasan sikap, lemahnya representasi juga mengakibatkan kaburnya makna publik. Dalam sistem yang sekarang ini berlangsung, “publik” tidak dimaknai sebagai konstituen tetapi massa mengambang (floating mass). Wajar saja jika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) merupakan rapat yang paling sering dilakukan. Padahal jika jelas konstituennya dan ada mekanisme hubungan yang jelas antara anggota DPR dengan konstituen, penyerapan aspirasi sebenarnya cukup dilakukan di tingkat ini saja. Nyatanya, meskipun RDPU sering dilakukan tetapi tak banyak aspirasi yang terserap.

“Ke depan, kita harus memperbaiki sistem Pemilu, agar persoalan threshold diatur dengan tegas sehingga tidak ada kompromi lagi dan DPR akan bekerja dengan sungguh-sungguh,’’ ungkap Partogi memberikan solusi.

Selain itu juga perlu dibenahi soal sistem kepartaian. Partai yang ada sekarang ini, menurut Syamsudin, telah menjauhkan diri dengan konstituennya. Entah apa penyebabnya, tapi yang jelas interaksi konstituen dengan partai intensitasnya naik hanya pada saat Pemilu saja. Setelah itu, kembali jarak akan terbentang. Di tingkat partai saja sudah terjadi alienasi. Apalagi ketika partai-partai telah bermetamorfosis dalam bentuk fraksi-fraksi di DPR.

‘’Yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana kita mendesakkan agar undang-undang bidang politik dibahas lebih awal, tidak menunggu sampai tahun 2007 atau 2008,’’ tegas Syamsudin.

Perkuat Komisi
Persoalan lain dari ketidakjelasan representasi ini adalah makin menguatnya ‘kekuasaan’ fraksi. Karena anggota DPR bukan semata-mata dipilih langsung oleh konstituennya—tetapi juga ditentukan oleh Partainya—maka praktis mereka, seperti diistilahkan oleh Syamsudin, tidak mempunyai ‘kedaulatan individu’. Namun demikian Syamsudin tidak sepakat jika fraksi ditiadakan. “Fraksi masih dibutuhkan, cuma peranannya atau fungsinya mesti dibatasi,’’ ujar Syamsudin.

Keberadaan fraksi ini memang sering mengemuka dalam berbagai forum yang mendiskusikan DPR. Pun menjadi sorotan banyak pihak yang menginginkan parlemen lebih berdaya. Banyak pihak menilai keberadaan fraksi hanya akan mengukuhkan DPR sebagai lembaga politik yang sempit. Sebab menurut mereka, fraksi tak lebih hanya sebagai kepanjangan kepentingan (interest extension) partai belaka.

Sebagai pilar demokrasi, sudah semestinya DPR memperkuat komisi, bukan fraksi. Tentunya banyak cara yang bisa dilakukan. Mungkin salah satunya adalah dengan mengedepankan Tatib (tata tertib) yang lebih terbuka. “Tatib harus dibuat secara terbuka, sehingga tidak muncul kepentingan-kepentingan pragmatis fraksi semata,’’ ungkap Partogi. (Tim Mandat)

Jakarta, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar