Perempuan dalam Pemilu


Oleh : Benjamin Tukan

TINDAKAN KHUSUS Sementara untuk membuka ruang partisipasi perempuan dalam politik baik di UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sedikit banyak memberikan kesibukan baru dalam menghadapi Pemilu 2009. Entah diburu oleh waktu yang kian mendekat, maupun pertimbangan akan dukungan pemilih, sepertinya perwacanaan politik perempuan terseret menjadi bagian tersendiri yang terlepas dari pemilu umumnya.

Padahal kesempatan yang terbuka untuk partisipasi politik perempuan ini harusnya selalu dibaca untuk memperbaiki kualitas pemilu secara umum. Tidak ada pemilu khusus untuk perempuan. Justru yang ada, adalah satu pemilu dimana semua, baik laki-laki maupun perempuan mendapat hak yang sama. Perlu dimaklumi bahwa kalau saja tindakan khusus sementara untuk perempuan tidak terjadi, tidak mungkin saat ini kita bisa menyaksikan banyaknya calon politisi perempuan yang akan ikut dalam Pemilu 2009.

Memang, akan sulit dibayangkan terwujudnya hak politik perempuan bila politisi perempuan juga publik umumnya masih memberikan ruang sendiri bagi perempuan mewujudkan partisipasi politiknya. Seperti yang terjadi saat ini, ada semacam kecendrungan untuk memberi tugas menggalang dukungan pemilih perempuan kepada politisi perempuan. Sementara untuk urusan taktik, strategi dan kapasitas menjadi urusan politisi laki-laki. Sudah waktunya pembagian kerja semacam inipun dipertimbangkan.
***


KALAU SAJA politisi perempuan diberi tugas untuk menggalang dukungan pemilih perempuan, maka tugas ini bukanlah suatu tugas yang gampang. Politisi yang sudah mapan-pun akan mengalami kesulitan merumuskan suara perempuan. Soalnya adalah menggalang dukungan perempuan tidak lain adalah membahasakan kembali pengalaman konkret yang dialami perempuan. Sementara, pengalaman konkret selalu berbeda dari satu kelompok perempuan dengan kelompok perempuan lainnya.

Kendati diakui bahwa kesetaraan perempuan dan laki-laki masih menjadi masalah di hampir semua tempat, namun tidak semua perempuan dapat mengeskpresikan hal itu sebagai bentuk penindasan dan penderitaan. Perbedaan lingkungan, sejarah dan pengalaman telah mengantarkan perempuan pada mimpi yang berbeda-beda tentang masa depannya. Karena itu tidak berlebihan kalau upaya merumuskan suara perempuan dilakukan dengan pelibatan diri dalam pengalaman-pengalaman konkret itu.

Memang situasi keterbelakangan dan juga kemiskinan yang saat ini dialami, justru yang paling kena dampak adalah perempuan dan anak-anak. Namun demikian, perlu ditegaskan lagi bahwa situasi inipun harus tetap berangkat dari pengalaman nyata masyarakat dan tidak sekedar mengikuti perwacanaan yang lagi tren. Bukankah kegagalan beberapa program pemerintah dan non pemerintah lebih dikarenakan suatu program dirumuskan jauh dari kehidupan masyarakat yang menjadi sasaran program?

Dalam buku “Membongkar Derita ; Teodice :Kegelisahan Filsafat dan Teologi (2006) Dr. Budi Kleden menuliskan” ketika penderitaan kehilangan wajah dalam angka, dia akan dengan mudah dimanipulasi, dilupakan dan disalah gunakan. Hanya informasi tentang penderitaan meresap dari pikiran ke hati atau kalau informasi itu mencapai kedua aspek pengenalan manusia ini, maka dia merupakan bentuk yang tepat untuk mengungkapkan penderitaan dan menjadi kenangan kolektif akan penderitaan.”

Atas cara yang berbeda, dapat diungkapkan di sini bahwa keberpihakan dan keterlibatan adalah salah satu jalan untuk mengungkapkan harapan dari masyarakat atas wakilnya. Melalui pertemuan yang digagas dalam waktu-waktu menjelang pemilu ini, suara dari kelompok-kelompok masyarakat terpinggir mulai dapat diperdengarkan. Di sini persoalan masyarakat dan kemampuan politisi merumuskan solusi alternatif mulai dapat dipertemukan.

Memang mengajak pemilih untuk bersuara bukanlah perkara yang gampang. Karena itu tampilnya politisi-politisi perempuan sedikit banyak mengatasi kebekuan ini. Lepas dari bagaimana ia dicalonkan, kesungguhan untuk mengikuti proses politik, termasuk bagaimana membagi waktu adalah pelajaran-pelajaran nyata betapa setiap orang dapat mengambil bagian dalam pemilu.

Maka sudah semestinya wajah pemilu kita pun berubah, karena mulai ada pengakuan pada perbedaaan-perbedaan dalam masyarakat. Pemilu pada gilirannya harus dilihat sebagai kesempatan mengaktualisasikan keberagaman, sekaligus keberagamaan memainkan peran dalam pemilu.

***
DALAM keberagaman wajah politik saat ini, semangat politik terlanjur memberikan harapan agar pemilu bisa menghasilkan wakil yang berkualitas. Bagaimana-pun menjadi politisi bukan sekedar coba-coba, pun juga bukan hanya bagi yang telah punya pengalaman politik saja.

Namun ironis tentu saja, ketika tampilnya perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT), bermunculan kesan bahwa perempuan hanya sekedar penghias dan sekedar hadir agar partai politik bisa ikut pemilu. Dari anggapan semacam ini lalu muncul berbagai tawaran pendidikan politik bagi perempuan calon anggota legislatif. Sayangnya, program-program ini bertujuan agar dalam waktu yang begitu singkat perempuan harus cepat diberdayakan untuk paham pada politik sesungguhnya dan mempraktekan prilaku politik yang yang dominan selama ini.

Mengherankan tentu saja, jika politisi perempuan dituntut untuk memenangkan pemilu sebagai sebuah pertandingan, bahkan mungkin memobilisasi pemilih perempuan secara masif. Sepertinya, politisi perempuan didorong supaya jangan sampai kalah karena kalah itu memalukan sekaligus menakutkan. Intrik-intrik politik untuk mediskreditkan lawan, menempuh jalan kemenangan dengan segala cara menjadi ”modul-modul” yang harus dipelajari oleh politisi perempuan saat ini

Sudah tentu, kesan dan tindakan semacam ini meremehkan politisi perempuan. Bagai keluar dari mulut singa masuk ke mulut harimau, perempuan yang baru keluar dari keterpurukan hak-hak politiknya dipaksa masuk ke dalam cara-cara politik yang mendiskreditkan dirinya. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah gagasan-gagasan baru dan solusi alternatif untuk kembali menata politik sebagai arena hidup bersama.

Hal yang jarang dilakukan sekalipun beberapa kelompok pemilih telah mempraktekkan, adalah merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan politisi termasuk politisi perempuan yang kini sedang menjabat. Padahal, melalui cara semacam ini, para politisi baru mulai merefleksikan cara-cara kerja yang selama ini dipraktekkan dan mulai menawarkan cara-cara baru yang lebih membuka peluang-peluang keadilan.

***

DALAM menghadapi pemilu 2009 nanti, semua politisi yang berkualitas punya kesempatan yang sama. Pemilih perempuan bisa memilih politisi laki-laki, demikian politisi laki-laki bisa dipilih oleh pemilih perempuan. Namun peluang ini hanya mungkin dengan beberapa syarat.

Pertama, bebaskan politik dari politik uang dan tindakan-tindakan kecurangan serta bentuk-bentuk pembodohan lainnya. Sekalipun umum dikenal bahwa pemberian selalu dalam modus penerima dan bukan pemberi, tetap saja cara ini menutup jalan bagi para politisi lain untuk tampil. Karena itu praktek yang demikian, haruslah dibawah pengawasan dengan suatu kesadaran untuk tidak bersimpati pada politisi model ini. Pada soal yang lain, pendidikan politik sama bobotnya dengan kampanye untuk megkawal pemilu yang bersih.

Kedua, perlu mendorong peraturan yang jelas di internal partai. Setiap kegiatan partai politik harus bisa membuka kesempatan bagi semua politisi dalam partai yang bersangkutan. Secara praktis, waktu-waktu untuk pertemuan haruslah memungkinkan semua bisa terlibat. Rapat-rapat partai yang baru dimulai tengah malam dan menghasilkan keputusan pada dini hari adalah cermin partai politik yang tertutup dan tidak sensitif.

Ketiga, jadikan pemilu sebagai sarana untuk membangun gerakan rakyat memperbaharui tatanan politik. Setelah hampir semua kabupaten menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung, maka sebenarnya pemilu 2009 merupakan pemilu pertama legislatif dalam era Pilkada Langsung. Perubahan-perubahan ini perlu disadari untuk selalu mendorong perbaikan tatanan suatu pemerintahan.

Keempat, perlu mengedepankan wacana kritis tentang pemilu sekaligus membuka kesempatan publik menilai calon-calon anggota legislatif. Melalui cara ini politisi yang sekedar mengobral janji, dan melakukan pembodohan politik akan mulai terpinggirkan. Dan yang muncul adalah politisi yang membangun posisi tawar masyarakat hingga terjalin ikatan politik antara wakil dengan pemilihnya.

Akhirnya pemilu adalah kesempatan bagi perempuan dan laki-laki mulai bekerja sama membangun tantanan kehidupan yang lebih baik. Seperti pernyatan Deklrasi New Delhi, 1997 oleh Uni Antar parlemen (International Parliamentary Union), ”Keberhasilan dalam demokrasi akan tercipta dengan adanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang sejajar, saling mengisi dan saling memperkaya dengan perbedaan yang ada diantara mereka.”

Benjamin Tukan : Pekerja LSM dan Pemerhati Politik, Tinggal di Jakarta

(Artikel ini pernah di kirim ke Media pada Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar