Mengawali Agenda Pemilihan Kepala Daerah Langsung


Oleh: Benjamin Tukan


(Artikel ini ditulis tahun 2004, disaat Pemilihan Kepala daerah secara disetujui oleh DPR)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sudah pasti dilaksanakan, setelah pemerintah Megawati diakhir masa jabatannya (29/9), mensahkan RUU Pemerintahan Daerah menjadi UU No 32 Tahun 2004. Dengan demikian, pertanyaan dan keraguan mengenai jadi tidaknya Pilkada secara langsung terjawab sudah. Sekarang yang masih ditunggu adalah bagaimana rumusan-rumusan aturan teknis baik itu melalui peraturan pemerintah maupun petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari KPU/KPUD. Ada persoalan yang masih menjadi pembicaraan saat ini menyangkut tuntutan merevisi pasal-pasal mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, tapi itu sepertinya tidak mempengaruhi jadi tidaknya Pilkada secara langsung.

Kalau saja kita menengok ke belakang pada perkembangan proses pemilihan kepala daerah sebagai pelaksanaan dari UU No 22 Tahun 1999, dihampir semua propinsi, kabupaten/kota selalu muncul dari adanya dugaan politik uang dalam pemilihan tersebut. Akibatnya dalam pelaksanaan pemerintahan daerah selama kurun waktu lima tahun ini bermunculan banyak persoalan. Kita bisa menyebutkan kolusi antara DPRD dan Eksekutif yang tertanam sejak pemilihan, berjalan terus hingga perumusan kebijakan-kebijakan daerah di kemudian hari. Di samping itu berbagai persoalan lain yang dibawah oleh UU no 22 tahun 1999, menyangkut pula kesimpangsiuran wewenang lembaga-lembaga daerah, hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat dengan pemerintah akibat dari rendahnya dukungan rakyat.

Kepastian menyelenggarakan pilkada secara langsung tentu merupakan suatu berita yang menggembirakan. Betapa tidak, pilkada secara langsung telah diyakini dapat menjadi solusi atas krisis keterwakilan politik dan krisis parpol yang terjadi selama ini. Seperti yang sering dikemukakan banyak kalangan, bentuk pemilihan baru ini dinilai sebagai kerangka sistem (system framework) yang mampu mendorong partisipasi publik, memperkuat legitimasi politik dan akuntabilitas pemerintahan, memungkinkan ceck and balance antara DPRD dan Eksekutif daerah, sekaligus mengikis trend oligarkhi partai politik, politisasi, dan money politik pada pemilihan kepala daerah.

Namun demikian, apakah pilkada secara langsung yang kian ramai dibicarakan akan serta merta menjadi perwujudan dari demokratisasi? Apakah pilkada secara langsung nantinya akan mengeliminasi politisasi dan money politics yang kemudian dapat menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas dan mendapat dukungan kuat dari rakyatnya ? Dua pertanyaan ini rupanya layak diajukan di awal kita melakukan persiapan hingga pelaksanaan pilkada nantinya. Sebab, bukan tidak mungkin yang dimaui dari sistem baru kemudian hanya merupakan kesibukan para elite politik saja yang rentan dengan politik pengatasnamaan dan politik uang. Sadar atau tidak hari-hari ini, ketika mata dan hati masyarakat sedang menunggu kepastian peraturan-peraturan teknis, perbincangan tentang taktik dan startegi sudah mulai digelar oleh para elite politik.

Menyambut pilkada secara langsung nantinya, hal lain yang perlu disadari sejak awal adalah soal prilaku pemilih masih cendrung berbasis pada afiliasi komunal. Karena itu perluasan ruang partisipasi dalam pemilihan kepala daerah pada gilirannya harus mendorong pula pada peningkatan kesadaran politik rakyat yang terlihat dalam kemandirian pemilih (baca: rakyat) dalam menentukan pilihan politiknya.
Dengan kata lain, jika pilkada secara langsung dipahami sebagai sarana demokrasi terpenting dalam proses perwujudan konsepsi kedaulatan rakyat dan instrumen perubahan politik yang kemudian berlangsung secara berkala, rakyat harus mampu memahami fungsi dan tujuan dari perubahan tersebut.
Rakyat harus menyadari bahwa pilihan politiknya akan membawa konsekuensi politik yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lima tahun mendatang. Oleh karena itu pula , keputusan rakyat untuk menentukan siapa elit politik yang akan berkuasa nantinya harus disertai dengan kemampuan rakyat mengontrol dan mengevaluasi kinerja elit politik baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun di legislative.

Membangun kembali kedaulatan dan partisipasi rakyat mengharuskan adanya transformasi budaya politik yang memberdayakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini. Dalam Pilkada nantinya, harus menjadi wujud nyata pentingnya pilihan politik rakyat dalam menentukan arah demokratisasi Indonesia di masa mendatang pada umumnya dan demokrasi pemerintahan di tingkat local pada khususnya. Transformasi budaya politik ini sudah tentu dilakukan dengan membangun kesadaran politik rakyat yang kritis dalam melakukan pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam memberikan suara (voting behavior). Oleh karena itu, perubahan perilaku politik pemilih (voters’ behavior) menjadi sangat signifikan dalam upaya menciptakan kelompok pemilih kritis baik yang dilakukan dalam Pemilu legislative dan presiden (pemilu nasional) maupun dalam pilkada (pemilu local) .

Belajar dari proses pemilu legislative dan presiden , ada beberapa faktor kunci yang menjadi landasan dasar dalam membangun kelompok pemilih yang kritis (critical voters). Faktor kunci pertama adalah membangun kesadaran rakyat tentang pentingnya membuat pilihan politik yang tepat. Pengalaman pemilu di Indonesia menunjukkan kebanyakan masyarakat menilai pemilu hanya sebagai sebuah pesta demokrasi yang ritualistik. Belum terbangunnya kesadaran politik yang kritis dari rakyat lebih disebabkan karena rakyat tidak tahu siapa yang terpilih karena itu berada dalam wilayah kewenangan partai politik. Hal ini diperburuk dengan rekrutmen kandidat pejabat publik yang oleh parpol sifatnya tertutup memungkinkan terjadi perkoncoan politik dan sama sekali tidak memperhatikan masalah aspirasi dan keterwakilan politik. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan komunikasi politik antara partai politik dan kelompok pemilih yang mampu meningkatkan kesadaran politik rakyat dalam menentukan pilihannya.

Masih pada pembelajaran tentang pemilu legilstaif, faktor kunci kedua adalah menciptakan keterbukaan informasi yang memungkinkan rakyat mampu mengenal dan memahami siapa elit politik yang layak dipilih nantinya. Ketertutupan informasi sering membuat pemilih cepat percaya pad aiming-iming yang dikampanyekan kandidat. Karena itu, sedari sekarang perlu dibangun kebutuhan rakyat terhadap keterbukaan informasi politik sehingga rakyat lebih kenal dan tahu siapa yang layak dan dapat diharapkan menjadi wakil yang akan memimpin mereka. Pengenalan disini lebih ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang latar belakang dan kinerja para kandidat dan partai politik peserta pemilihan. Hanya dengan itu, publik bisa semakin yakin bahwa pilihannya ternyata tidaklah keliru. Public semakin disadari bahwa kandidat yang terlibat dalam politik uang tidak layak dipilih karena akan menyuburkan praktek dan budaya korupsi dikemudian hari.

Persoalan menilai kelayakan kandidat dan partai politik pada gilirannya bermuara pada criteria apa yang dipakai dalam penilaian tersebut. Budaya politik yang paternalistik dan otoriter yang terjadi selama ini telah menciptakan kebiasaan masyarakat yang enggan menilai latar belakang dan kinerja pemimpinnya. Tanpa adanya kebiasaan melakukan penilaian dengan kriteria penilaian yang jelas, hanya akan berdampak pada penilaian like and dislike. Sering kali pilihan yang bersifat emosional dan perhitungan jangka pendek yang demikian, dalam kenyataan sering jauh dari harapan. Untuk itu, perlu dibangun kerjasama antara rakyat, organisasi non pemerintah (ornop) dan organisasi pendidikan pemilih (voter education organization) dalam menyediakan informasi yang menyeluruh dan akurat tentang kandidat dan partai politik.

Memang disadari selama ini sejak bergulirnya reformasi 1998, banyak pihak termasuk media massa dan Ornop , telah berupaya melakukan pemantauan atas kinerja pejabat public baik ditingkat legislative maupun pada tingkat eksekutif. Berbagai bentuk pemantauan yang terjadi selama ini pada satu sisi dinilai sangat berhasil namun disisi lain dalam hubungan dengan pemanatauan jejak rekam dalam pemilihan nantinya masih jauh dari sempurna.

Pemantauan yang bersifat posistif dapat kita lihat dari bemunculnya kasus-kasus korupsi, dan kritik masyarakat atas kinerja pemerintahan di hamper semua wilayah di Indonesia. Sedangkan pada tingkat kekurangan dapat disebutkan antara lain, (1) masih tersebarnya data-data pemantauan sehingga tidak diketahui secara luas, (2) tingkat akurasi data yang ada, (3) belum ada kerjasama antara pihak-pihak tersebut dalam membangun system pemantauan sistematis dan kompherensif, (4) belum teristematisnya data yang ada sebagai bahan untuk menilai ditambah lagi masih perlunya pemantauan pada kandidat yang tidak sedang menjabat.

Itulah sebabnya, seperti pemantauan jejak rekam pada pemilu legislative dan pemilu presiden 2004, pada pilkada yang akan dimulai juni 2005 harus mulai dipikirkan pembagunan kapasitas Ornop di daerah dalam melakukan pemantauan. Penguatan kapasitas dimaksudkan antara lain, (1) bagimana menyusun dan mempromosikan criteria dan metodologi, termasuk membangun system informasi mengenai jejak rekam kandidat. (2) bagaimana meningkatkan kemampuan teknis para pemanantau termasuk menilai kredibilitas ornop yang akan melakukan pemantauan jejak rekam , dan (3) bagaimana meningkatkan kemampuan ornop pemantauau membangun jaringan ditingkat local dalam upaya memperoleh dan menyebarkan informasi.

Pengembangan Kapasitas Ornop dalam Pemantauan Jejak Rekam Partai Politik dan Kandidat Pemilihan Kepala Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota merupakan kegiatan yang sangat strategis untuk mendorong terwujudnya akuntabilitas politik elit terhadap masyarakat pemilih. Dengan menjadikan pemantauan politik sebagai kegiatan integral dalam proses seleksi elit politik, masyarakat diharapkan mampu bersikap kritis dalam menilai dan memilih elit-elit politik yang akan duduk dalam jabatan public. Karena itu, program pemantauan politik harus dilihat sebagai masukan penting dalam proses seleksi publik terhadap elit politik yang akan memimpin dalam upaya membangun pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar