Mengawali Agenda Reformasi Partai Politik


Catatan-Catatan Benjamin Tukan


Pasca 1998, demokrasi Indonesia mulai memasuki babak baru. Dua kebijakan penting yang bisa dicatat sebagai awal dari reformasi politik di Indonesia adalah lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no. 33 tentang partai politik. Dua hal ini tentu beralasan sebagai pertanda adanya perubahan baru lantaran kedua soal ini merupakan agenda soal yang tidak pernah diselesaikan ketika masa orde baru. Sentralisme dan pemberlakukan masa mengambang merupakan cirri dari Negara otritrian orde baru ketika itu. Alhasil dengan diundangkan kedua hal ini, gejala munculnya peran serta masyarakat menjadi diskusi public hingga saat ini.

Sekalipun kedua UU ini dipakai sebagai pertanda sistem politik, namun tentu saja belum merupakan patokan yang final dari pembentukan Negara Indonesia yang demokratis. Maka melalui parlemen hasil pemilu 1999, undang-undang itu semakin disempurnakan bahkan beberapa undang-undang lain yang berkaitan semisal UU Pemilihan Umum, UU Susunan dan kedudukan DPR, DPD, DPRD , UU Mahkamah Konstitusi , UU tentnag Pemilihan presiden turut serta diundangkan. Lebih jauh dari itu parlemen hasil periode 1999-2004 juga telah empat kali melakukan amandemen atas UUD 1945.

Dari sekian banyak perubahan baik yang telah ada maupun yang belum ada, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa politik Indonesia mulai memberi peran yang begitu besar terhadap partai politik. Hampir semua lini kehidupan politik dikembalikan pada peran dari partai politik (partay base). Secara praktis kita bisa menunjukan bahwa dari pencalonan presiden dan wakil presiden dan terakhir pencalonan kepala daerah diserahkan kepada partai politik. Belum lagi kalau DPR DPRD kita andaikan sebagai kelanjutan dari partai politik, maka hampir sulit menemukan bidang mana yang bukan menjadi bagian kerja partai politik. Dalam tingkatan yang lain, bisa disebutkan bahwa kalau dulu negara ditentukan oleh permaianan birokrasi maka sekarang justru peran itu mulai dimainkan oleh partai politik.

Apakah sebuah kekeliruan memberikan peran yang besar terhadap partai politik ? jawaban tentu saja tidak. Sebab, partai politik dimana pun berada dikemas dan dikontruksi sebagai institusi dimana warga negara berkumpul untuk kemauan politiknya. Dengan kata lain, sebenarnya mau mengatakan bahwa dengan memberi peran yang besar kepada partai politik, berarti memberi peran kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam sism politiknya. Semakin institusi partai diberi peran dalam menentukan arah dari politik Indonesia, maka semakin dirasakan bahwa rakyat mendapatkan peran sekaligus ruang untuk menentukan kemana politik Indonesia akan dibawah.

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa pada tingkat implementasi, bisa saja apa yang diharapkan akan kemabali mengukuhkan otoritarianisme negara yang terwakili dalam rana olgarkis partai politik. Dan hal ini, disadari atau tidak gejalanya sedang dipertontnkan dalam beberapa waktu belakangan ini. Berbagai keputusan dan intrik politik yang terjadi diparlemen yang sering kali menjadi sorotan publik, cukup menjadi dasar untuk mempertanyakan sejauh mana peran partai politik minimal dalam komunikasi politik. Belum lagi kalau fenomena politik pada proses rekrutmen pejabat publik, kulaitas dan kemampuan para aktor politik, juga kemampuan institusi untuk memnejemen konflik dan agregasi kepenttingan masih jauh dari harapan yang diberikan pada instusi tersebut.

Beberapa hal yang dikemukakan sebagai sisi gelapnya partai politik di Indonesia pasca 1998 diatas, pada telaan tertentu bisa dibenarkan. Hal tersebut dikarena beberapa alasan diantaranya, pertama, sejarah kelahiran partai politik saat ini umumnya tidak lebih dari usua enam tahun termasuk Partai Golkar, PPP dan PDI Perjuangan sebagai kelanjutan dari PDI , merupakan partai baru baik secara organisasi maupun sebagai arena. Kedua, budaya patronase politik yang masih berakar dalam partai lantaran gagal dalam melakukan reformasi internal partai. Partai politik yang identik dengan figur dan tokoh tertentu yang tidak berhubungan dengan partai politik sering mempunyai posisi tawar yang menentukan jalannya mati hidupnya partai politik. Ketiga, dari sejarah kelahiran partai politik, umumnya merupakan ide atau kemauan dari sekelompok elit yang bermain dipusat-pusat kekuasaan. Akibatnya, sampai saat ini banyak partai yang belum mampu mengkonsolidasikan kiprahnya di tengah masyarakat.

Padahal sudah menjadi kepercayaan bersama, bahwa fungsi dan peran politik harus pula didukung oleh kesiapan kapasitas internal partai dan hubungannya dengan berbagai stakeholdernya. Baik dibaca dalam kerangka pohon industri dimana partai politik merupakan faktor hulu dalam setiap politik di lembaga parlemen di tingkat hilir, maupun kemudian dibaca dalam aspek perubahan sistem politik yang berdasarkan partai politik, hal yang perlu dilakukan adalah mulai memikirkan aspek penguatan instutusi partai politik sebagai jalan menuju suatu representasi politik.

Ada dua soal, yang perlu dilakukan kajian dalam pemetaan ini. Pertama, adalah aspek regulasi yang mengatur peran partai politik baik secara langsung mapun tidak langsung dalam sistem politik. Pemetaan pada aspek ini dirasakan penting karena akan memberi gambaran mengenai area intervensi partai politik. Dengan mengetahui area intervensi ini, akan muncul lagi siapa-siapa stakholder dan kelompok kepentingan yang dapat dipakai untuk suatu sinergitas. Bagaimana sinergitas antar kepentingan akan dibicarakan setelah memetakan peluang dan hambatan. Secara khusus dalam kajian terhadap aspek regulasi ini juga memperhatikan regulasi yang berhubungan langsung dengan pengaturan internal partai semisal UU tentang partai politik.

Kedua, melakukan kajian tentang partai politik sebagai organisasi. Khusus pada kajian ini hal yang akan disoroti adalah sejauhmana kesiapan organisasi dalam merespon tuntutan yang ada diarea intervensi di atas. Jiika fungsi partai politik yang dikenal umum semisal, agregasi kepentingan , komunikasi politik, kaderisasi, maka sejauh mana fungsi-fungsi itu beroperasi dalam suatu dinamika organisasi partai politik. Hal yang sama juga berlaku pada fenomena perpecahan di internal partai untuk melihat aspek manajemen konflik dalam partai. Masih berkaitan dengan aspek organisasi, maka hal perlu dilihat adalah hubungan antara partai politik dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat atau sebaliknya. Diharapkan dari pemetaan ini akan memperoleh gambaran utuh menyangkut akar persoalan dalam partai politik untuk kemudian dibuat semacam rekomendasi untuk penguatan kapasitas institusi partai politik.

(Tulisan ini dibuat untuk keperluan terbatas. Tahun Tulis 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar