Mengapa DPR Perlu Dipantau ?


Oleh : Benjamin Tukan

PARLEMEN secara umum dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara khusus, memiliki peran yang signifikan dalam negara demokrasi. Begitu pentingnya peran parlemen terutama sebagai penyaluran aspirasi rakyat, membuat undang-undang, pengawasan dan penyusunan anggaran, maka tuntutan perubahan dan penyempurnaan sistem keparlemenan yang dilakukan dari dalam dan dari luar parlemen selama ini dan kedepan merupakan hal yang tidak terhindarkan.

Perubahan sistem keparlemen termasuk sistem rekrutmen parlemen yang dilakukan sejak pemilu 2004, adalah sustu terobosan penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan ini sekalipun belum maksimal dan belum memuaskan, namun cukup memberikan harapan akan berjalannya suatu perwakilan politik di Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya.

Dari riset pemetaan persoalan tentang DPR yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 1 Agustus – 1 Oktober 2005 , terutama yang menyangkut opini publik terhadap parlemen, terlihat cukup jelas bahwa parlemen hasil 2004 dengan sistem pemilu yang baru, diawal kerjanya telah memberikan optimisme di kalangan publik tentang perbaikan fungsi parlemen. Kendati demikian, dari riset yang sama menunjukan bahwa harapan yang tinggi tidak bertahan lama bahkan menurun ketika parlemen telah berhadapan dengan tugas-tugas keseharian. Dalam riset tersebut juga ditemukan anggapan dari publik bahwa DPR tidak mampu menyalurkan aspirasi yang berkembang di masyarakat, juga tidak peka akan intrik-intrik yang menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat. Hal ini seringkali lebih dikarenakan DPR tidak memahami konteks masalah yang berkembang

Sekalipun penelitian tersebut disadari masih menggunakan sumber dari media, tapi kurang lebih mengambarkan juga tentang peranan yang cukup penting yang dimiliki Fraksi-fraksi di DPR. Peranan yang dominan ini, terutama dalam hal mempengaruhi pengambilan keputusan, menyebabkan suara-suara anggota dewan menjadi tidak berarti bahkan suara-suara anggota dewan yang marginal semakin tersingkir. Hal lain yang dijumpai dalam riset tersebut adalah posisi Ketua dewan yang memiliki peran politis yang dominan dalam legislatif. Akibatnya dewan yang tercermin dalam posisi ketua dewan memiliki porsi yang lebih besar pada peranan politisnya. Ini berarti kepentingan politik lebih dikedepankan dan permasalahan substansial sering tidak disebut-sebut.

Penurunan harapan ini hampir sama jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya dari hasil pemilu 1999. Riset ini menunjukan bahwa belum terjadi perubahan signifikan atas kinerja parlemen di mata publik, sekalipun reformasi perundangan kurang lebih memungkinkan perbaikan kinerja tersebut. Perbaikan kinerja parlemen ternyata masih menemukan kandala dalam aturan-aturan yang mengatur kerja parlemen. Jika diperhatikan hasil riset kerangka regulasi yang dilakukan oleh LSPP bersamaan dengan penelitian opini publik dan advokasi NGO, ternyata masih banyak regulasi yang mengatur internal kerja DPR yang harus perlu diperbaiki termasuk memantau pelaksanaan aturan-aturan itu.

Pada pemetaan kerangka regulasi ditemukan masih banyak aturan-aturan yang tidak sinkron, tumpang tindih, tidak jelas, kurang memadai dan tidak perlu. Dari fungsi legislasi misalnya, terdapat tumpang tindih antara peraturan konstitusi dengan peraturan-peraturan lainnya. Ini disebabkan karena ketidakjelasan konsep yang digunakan dalam konstitusi sehingga tumpang tindih bahkan tidak sinkron pada aturan-aturan dibawanya. Publik sering tidak mendapatkan penjelasan yang memadai kenapa suatu undang-undang diterima atau ditolak.

Hal yang sama juga berkenaan dengan partisipasi publik yang belum banyak dan belum tegas diatur dalam aturan-aturan kelegislatifan. Fungsi pengawasan dan anggaran kurang lebih sama dengan fungsi legislasi. Dalam soal kunjungan kerja, tidak ada aturan yang bisa membuat anggota DPR mempertanggungjawabkan kegiatan kunjungan kerjanya pada konstituennya secara transparan.

Dalam persidangan, ternyata risalah tidak diwajibkan pada rapat DPR kecuali rapat paripurna dan rapat paripurna luar biasa. Padahal untuk untuk suatu tuntutan pada sisi akuntabilitas dan transparansi misalnya, risalah rapat tersebut harusnya dibuat, mudah diakses dan bisa disebarluaskan.

Di luar riset yang dilakukan LSPP, dapat dikemukakan disini bahwa tuntutan perbaikan kinerja parlemen ternyata bergaung juga di internal parlemen. Sebut saja, beberapa anggota parlemen dengan berani mengajukan tuntutan kenaikan gaji dengan alasan untuk memperbaiki kinerja mereka. Selain itu kehadiran Dewan Kehormatan dan inisiatif beberapa anggota parlemen untuk membentuk kaukus tata pemerintahan, juga contoh lain yang menunjukan adanya tuntutan perubahan dan perbaikan atas kinerja parlemen.

Berhadapan dengan kondisi menurunnya kinerja parlemen dan tuntutan perbaikan atas kinerja tersebut, tidak keliru lagi kalau pada lokakarya hasil riset LSPP, banyak muncul rekomendasi agar perlu dilakukan pemantauan pada dinimika internal parlemen sekaligus mulai memikirkan bentuk-bentuk baru komunikasi politik antara konstituen dan wakilnya, demikian sebaliknya.

Ada semacam kesadaran bahwa memang selama ini telah banyak kerja-kerja pemantauan parlemen, namun kebutuhan untuk memikirkan suatu bentuk pemantauan yang komprehensif tentang parlemen sebagai upaya mendorong akuntabilitas parlemen masih jarang dilakukan. Konkritnya, pada rekomendasi level pemantauan disebutkan ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, pertama, pemantauan pada aktor dan jaringan aktor. Kedua, pemantauan pada level kapasitas lembaga termasuk sekretariat DPR. Kedua level pemantauan ini pada gilirannya akan menghasilkan berbagai data dan rekomendasi baik untuk perubahan kinerja DPR maupun sebagai salah satu media komunikasi antara konstituen dan wakilnya.

Pada tingkat advokasi yang sering dilakukan NGO, kebutuhan akan pemantauan kemudian mendorong perbaikan pola dan strategi advokasi selama ini. Riset LSPP tentang advokasi yang dilakukan oleh NGO cukup memberikan gambaran awal tentang pola dan dinamika NGO berhadapan dengan parlemen. Disadari bahkan ditemukan juga dalam riset ini belum benyak dilakukan terobosan dari metode advokasi oleh LSM, khususnya dalam tingkat legislatif. Kalaupun ada, hanya bersifat kasuistis. Lemahnya koordinasi dengan simpul daerah, juga masih dijumpai dalam riset tersebut.

Kebutuhan untuk meningkatkan peran dari institusi parlemen, terungkap kembali dalam Dalam presentasi Muh Hanif Dhakiri pada Lokakarya penyusunan instrumen yang dilakukan oleh LSPP 6-8 okt 2005. Menurutnya, instrumen pemantauan haruslah merumuskan cara yang lebih berbasis pada kebutuhan politisi. Tuntutan pada penggunaan instrumen pemantauan umumnya adalah instrumen yang dipakai harus benar-benar terukur, mudah diterapkan dan bisa dipahami oleh masyarakat. Karena itu titik tolak pemantauan adalah pertama, pada fakta institusinya termasuk pemahaman akan mekanisme kerja parlemen. Kedua, menetapkan strategi dan prosesnya. Dari fakta institusi dan kinerja, sebenarnya kita bisa mencari strategi tertentu untuk mendorong agar DPR lebih optimal.

Jakarta, Nopember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar