Menunggu Kelahiran Badan Perbatasan

Oleh : Benjamin Tukan

UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mengamanatkan antara lain, untuk mengelola perbatasan perlu ditindaklanjuti melalui pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Sejak diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), publik semakin yakin akan kesungguhan pemerintah mengurusi masalah wilayah perbatasan RI.

Setiadaknya dari pemberitaan media sejak diterbitkannya Pepres tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama instansi terkait pengelolaan perbatasan melakukan persiapan dalam rangka pembentukan BNPP. Hingga memasuki awal April 2010, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) sudah memasuki tahapan penggodokan para pejabat yang akan ditugaskan di badan tersebut.

Sementara persiapan yang sama juga berlangsung di daerah atau jelasnya di propinsi dan kabupaten yang memiliki wilayah-wilayah perbatasan. Entah yang dibicarakan soal Badan Pengelola Perbatasan di tingkat daerah ataupun rapat-rapat koordinasi biasa yang juga dilakukan selama ini, pertemuan-pertemuan yang genjar dilaksanakan akhir-akhir ini layak pula dibaca sebagai persiapan pembentukan lembaga sejenis di tingkat daerah.

Memang, dilihat dari persoalan yang dihadapi selama ini pada penanganan masalah perbatasan, nampak bahwa masalah koordinasi sering menjadi kendala yang menyebabkan program-program selalu tumpang tindih dan tidak menjanjikan keberlanjutan. Jangankan antar instansi pemerintah, antar pusat dan daerahpun sering saling menunggu untuk penyelesaian masalah yang dihadapi di perbatasan.

Lebih dari soal penyelesaian masalah, ketidakkoordinasian-pun sering membuka peluang bagi oknum dalam instansi yang berperan untuk mencari keuntungan melalui hal-hal diluar jalur hukum yang disepakati. Ibarat mengail di air yang keruh, masalah Ilegal Logging, penyeludupan tenaga kerja, perusakan lingkungan adalah contoh masalah yang dimungkinkan dari lemahnya koordinasi yang dimaksud.

Dibalik semua itu, ada masalah yang cukup kompleks yang dihadapi dalam penanganan masalah perbatasan adalah tentang visi bersama pembangunan perbatasan. Visi bersama tentu tidak saja berkutat hanya pada masalah yang dihadapi, tapi mau dibawa kemana pembangunan wilayah perbatasan. Tanpa kejelasan visi, program-program pembangunan yang dilaksanakan pun akan tetap membiarkan keterlantaran masyarakat perbatasan setelah program itu berakhir dalam waktu dan anggaran yang telah disepakati.

Dalam kerangka visi itulah, kondisi perbatasan di Indonesia yang berbeda satu dengan yang lainnya dapat ditangani secara tepat dalam kebijakan dan pendekatan khusus dan integratif. Begitupun peran pemerintah di tingkat lokal selalu dimungkinkan dari dasar semacam ini. Akibat yang diharapkan kemudian satu daerah dengan daerah lain tidak lagi dalam wilayah yang berbeda namun dapat dihubungkan menjadi satu yang terintegrasi.

Tentu saja, pembentukan lembaga yang dimaksud harus dipikirkan dalam konteks pemecahan masalah. Karenannya, kehadiran BNPP perlu dibingkai dalam proses integrasi yang dimulai dari awal untuk mendengarkan secara langsung apa yang tengah dan akan dibuat oleh instansi yang berbeda dalam ranah lembaga yang terkoordinasi.

Semua harapan dan masalah mau tidak mau diletakan pada pengaturan BNPP. Lantaran lembaga ini akan menjadi satu-satunya lembaga yang menangani perbatasan pada level koordinasi, maka bukan berlebihan jika dalam menetapkan kebijakan, merencanakan kebutuhan anggaran, mengkoordinir pelaksanaan program, mengawasi, dan mengevaluasi dibutuhkan perhatian dan pemahaman yang komprehensif tentang kebutuhan pengembangan wilayah perbatasan.

Dengan melihat problem yang dihadapi barangkali kehadiran lembaga ini tidak sekedar menjadi kesibukan untuk hanya memikirkan teknis operasionalnya saja, melainkan dan terutama mengintegrasikan masalah pada level penyelesaian yang memadai. Proses ini hanya bisa dilakukan dengan melibatkan setiap stakeholder yang berurusan dengan perbatasan. Melalui cara demikian, proses transisi kewenangan bisa berjalan mulus disesuaikan dengan konteks masalah yang dihadapi.

Jalan ke arah itu semestinya sudah mulai sejak dari persiapan pembentukan ini. Karena itu wacana-wacana publik mestinya diramaikan untuk menangkap minat dan keikutsertaan para pihak termasuk masyarakat dalam upaya memajukan pembangunan perbatasan. Sebab, dengan berkutat hanya pada teknis operasional bukan tidak mungkin persoalan perbatasan masih juga menjadi persoalan yang sangat elitis yang mengandung kepentingan-kepentingan jangka pendek dari lembaga-lembaga yang terlibat.

Terlepas dari niat baik para pengambil keputusan, yang perlu kakhwatirkan adalah jangan sampai persoalan perbatasan hanya dipandang untuk mengabdi kepentingan pusat dan bukan bersama-sama menyelesaikan persoalan negara juga persoalan global yang dihadapi dunia dewasa ini.

Terkait dengan itu, dalam arus besar kebutuhan akan sebuah lembaga, baiknya mulai dipikirkan bagaimana publik diikut-sertakan dalam proses ini. Ada semacam kebutuhan agar proses yang dilalui dapat diketahui bersama oleh masyarakat dengan harapan bahwa proses yang transparan akan mendorong partisipasi dari masyarakat.

Dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui keterbukaan informasi, tidak lain adalah cara mendorong inisiatif masyarakat dalam membangun kedaulatan bersama. Dengan begitu hal yang tengah dipersiapkan saat ini tidak lagi sebatas kemauan-kemauan pemerintah tapi lebih merupakan kerja-kerja bersama yang lahir dari kemauan bersama pula.



Benjamin Tukan : Pekerja LSM Tinggal di Jakarta

(Artikel dibuat untuk keperluan diskusi. Pernah diminta untuk diterbitkan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar