MEMPERSIAPKAN PILKADA LANGSUNG
Oleh : Benjamin Tukan
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sudah pasti dilaksanakan, setelah pemerintah Megawati diakhir masa jabatannya (29/9), mensahkan RUU Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, pertanyaan dan keraguan mengenai jadi tidaknya Pilkada secara langsung terjawab sudah. Sekarang yang masih ditunggu adalah bagaimana rumusan-rumusan aturan teknis baik itu melalui peraturan pemerintah maupun petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) KPU/KPUD. Memang pembicaraan saat ini juga masih menyangkut kemungkinan merevisi satu dua pasal mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, tapi itu sepertinya tidak memengaruhi jadi tidaknya Pilkada secara langsung.
Kepastian menyelenggarakan Pilkada secara langsung tentu merupakan suatu berita yang menggembirakan. Betapa tidak, Pilkada secara langsung telah diyakini dapat menjadi solusi atas krisis keterwakilan politik dan krisis parpol yang terjadi selama ini. Seperti yang sering dikemukakan banyak kalangan, bentuk pemilihan baru ini dinilai sebagai kerangka sistem (system framework) yang mampu mendorong partisipasi publik, memperkuat legitimasi politik dan akuntabilitas pemerintahan, memungkinkan ceck and balance antara DPRD dan Eksekutif daerah, sekaligus mengikis trend oligarkhi partai politik, politisasi, dan money politik pada pemilihan kepala daerah.
Namun demikian, apakah Pilkada secara langsung yang kian ramai dibicarakan akan serta merta menjadi perwujudan dari demokratisasi? Apakah Pilkada secara langsung nantinya akan mengeliminasi politisasi dan money politics ? Dua pertanyaan ini rupanya layak diajukan di awal kita menyiapkan prakondisi untuk sebuah acara besar tersebut. Sebab, bukan tidak mungkin yang kita maui dari sistem baru kemudian hanya merupakan kesibukan para elite politik saja yang rentan dengan politik pengatasnamaan dan politik uang. Sekadar meminjam istilah Sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, bisa jadi yang berlangsung adalah the sirculation of the elite atau sirkulasi kekuasaan dengan elite sebagai subjek dan aktornya. Sadar atau tidak hari-hari ini, ketika mata dan hati masyarakat sedang menunggu kepastian peraturan-peraturan teknis, perbincangan tentang taktik dan startegi sudah mulai digelar.
Tulisan ini hanya sebatas sumbang saran bagi para aktor baik di rana politik maupun civil society untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan dalam upaya mempersiapkan proses Pilkada tersebut. Dalam pandangan penulis, proses Pilkada tidak berlangsung hanya saat KPUD mengumumkan pendaftaran calon, tapi sudah dimulai sejak undang-undang dibahas di DPR.
Agenda Persiapan
Dari beberapa pembicaraan tentang Pilkada secara langsung baik pada saat masih dibahas di tingkat DPR hingga disahkan, juga belajar dari pengalaman pemilu legislative dan pemilu presiden yang baru lewat, ada lima hal penting yang mesti dikerjakan secara bersama sebagai persiapan pra kondisi Pilkada.
Pertama, perlu mendorong partai politik untuk melakukan penjaringan calon secara terbuka. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mensyaratkan pencalonan kepala daerah hanya datang dari partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dari pemilihan DPRD di daerah yang bersangkutan.
Memberikan hak pada partai politik dalam pencalonan bukan terbebas dari problem. Soalnya, partai politik sebagai salah satu institusi demokrasi saat ini masih dililit oleh berbagai persoalan keterwakilan politik, katakan banyak partai politik sekedar papan nama, atau partai politik yang lebih banyak pengurus daripada anggota. Fenomena ini tentu sangat riskan ketika undang-undang mengehendaki calon hanya datang dari partai politik. Sebab, peluang ini kalau tidak diantisipasi sejak awal maka akan terjadi partai politik memproyekkan politik pengatasnamaan. Pada level ini pimpinan partai politik bisa saja melakukan politik dagang sapi dengan memberi harga pada calon-calon yang akan diajukan. Tanpa harus menutup mata terhadap soal ini, fenomena partai politik di tanah air saat ini memang sedang menuju ke arah itu.
Untuk mengatasi problem partai politik, usulan untuk memasukan kewajiban partai politik menjalankan konvensi ke dalam peraturan pemerintah dan peraturan teknis dipandang sebagai suatu hal yang positive. Hanya saja, perlu dicatat sebuah konvensi atau apapun namanya kalau hanya melibatkan pimpinan anak cabang dan ranting (pengurus partai) rupanya tidak cukup. Mekanisme yang digelar harus disertai dengan kesediaan untuk melibatkan masyarakat sampai pada mekanisme itu menjamin adanya keterbukaan informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Maka, yang harus dikerjakan partai saat ini adalah memperbaiki struktur dan mekanisme penjaringan, termasuk mulai memikirkan kriteria calon berdasarkan perhatian partai yang bersangkutan. Kerja ini harus diumumkan kepada masyarakat untuk dapat menerima masukan.
Kedua, memperkuat kapasitas DPRD. Sekalipun DPRD tidak lagi berwewenang memilih kepala daerah, peran DPRD dalam undang-undang tersebut masih cukup besar. Tugas DPRD dalam Pilkada antara lain penyusunan anggaran Pilkada dan pengaturan-pengaturan teknis bersama KPUD. DPRD juga akan mengawasi jalannya Pilkada, termasuk membentuk panitia pengawas daerah. KPUD sebagai penyelenggara pemilu kemudian akan mempertanggung jawabkan kerjanya kepada DPRD.
Tugas-tugas DPRD khususnya dalam hal mengkawal Pilkada seperti yang diamantkan UU Pemerintahan Daerah, tentu bukanlah persoalan yang mudah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa kualitas pilkada juga sangat ditentukan oleh kualitas peran DPRD. Soalnya, setiap keputusan yang dihasilkan DPRD bisa saja menguntungkan salah satu calon, atau pun dalam penyusunan anggaran sangat rentan dengan manipulasi. Karena itu, ada baiknya sedari sekarang harus mulai dipikirkan soal akses publik dan partisipasi publik dalam kerja-kerja legislatif.
Saat ini di beberapa daerah, sedang dilakukan penyusunan Tata Tertib (Tatib) DPRD , sayang perdebatan soal ini melupakan mekanisme akses publik dan partisipasi publik dalam kerja DPRD. Sepertinya anggota DPRD, lebih mempersoalkan hak-hak politiknya terutama dalam penyusunan pimpinan DPRD, ketimbang mempersoalkan hak-hak rakyat terhadap DPRD. Maka, untuk menyambut acara besar seperti Pilkada tersebut, dari sekarang perhatian harus diarahkan pada bentuk-bentuk peraturan daerah termasuk Tatib yang memungkinkan adanya partisipasi dan akses publik.
Ketiga, peran dan fungsi KPUD. Seperti dalam penyelenggaraan pemilu Legislatif dan pemilu Presiden sebelumnya, KPUD ditunjuk sebagai penyelenggara pemilu. Namun ada perbedaan yang cukup jelas, bahwa dalam pemilu kemarin, KPUD hanya sekadar perpanjangan tangan dari KPU Pusat. Sedangkan pada Pilkada nanti, KPUD merupakan lembaga induk dalam penyelenggaraan. Ini berarti bahwa KPUD pada gilirannya akan menghasilkan juklak dan juknis yang mengatur penyelenggaraan pemilu itu sendiri, di samping menjalankan proses pemilu dari persiapan sampai penetapan calon terpilih.
Tentu saja, posisi dan peran yang dimainkan KPUD ini akan sangat rentan terhadap intervensi kepentingan-kepentingan elite politik, di samping rentan juga terhadap proyek-proyek lokal yang menghabiskan dana Pilkada. Sebagai lembaga penyelenggara, KPUD akan lebih aktiv bekerja bila mandat itu sudah jelas diberikan dan bukan saat ini. Namun, dari sekarang bukan tidak mungkin KPUD menjadi lembaga dimana orang awam menanyakan hal ikhwal tentang Pilkada. Disamping independesi yang diharapkan, KPUD juga dituntut memiliki pengetahuan dan informasi yang jauh lebih banyak dari lembaga-lembaga lain di daerah. Bila KPUD kemudian memberi jawaban bahwa masih harus menunggu petunjuk dari pusat, sekalipun hal ini penting, tapi jawaban ini juga bisa menandakan KPUD tidak punya visi soal Pilkada.
Keempat, peran yang dimainkan oleh Calon dan Tim Sukses. Tentu saja, setiap warga negara berhak mencalonkan diri, asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Sebagai warga negara yang ingin menduduki jabatan publik dalam hal ini menjadi kepala daerah, tindakan untuk mengumpulkan massa, membentuk tim sukses yang solid , mendekati parpol, membangun citra entah lewat polling partisan, ataupun merebut simpati media massa pada saat-saat ini bisa ditolerir .
Hanya saja, penggalangan dukungan yang saat ini sedang giat dilaksanakan, perlu mempertimbangkan kemandirian rakyat menentukan pilihan politiknya. Sikap manipulatif yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan alias menggunakan kesempatan disaat masih kaburnya aturan tentu berbuah pada penilaian publik yang jauh dari harapan para calon. Para calon dan tim sukses yang kini mulai “bergerilya” perlu juga memperhatikan pluralitas dalam masyarakat dan sama sekali tidak menggiring untuk meniadakan calon-calon yang lain. Pada gilirannya, yang dikerjakan saat ini adalah membangun diskusi di tingkat rakyat. Kalau partai politik bekerja untuk menjaring calon, maka para calon bekerja untuk menjaring program.
Kelima, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terutama LSM dan Ormas. Masyarakat adalah subjek dalam menentukan pimpinan daerah di lima tahun ke depan. Hanya saja keterlenaan (baca : kesibukan) masyarakat dan lambannya informasi menyebabkan orang begitu mudah menerima bujuk rayu para kandidat. Maka yang perlu terus didorong saat ini adalah, bagaimana peran oraganisasi-organisasi masyarakat termasuk LSM untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi public untuk mempromosikan hak-hak rakyat dalam Pilkada.
Organisasi masyarakat pada saat ini juga perlu memikirkan lagi perjuangan yang menyangkut akses informasi dan partisipasi publik melalui Tatib DPRD maupun melalui Peraturan Daerah (Perda). Diskusi soal ini memang sudah banyak digelar hanya perwujudannya dalam peraturan konkrit masih menjadi masalah sampai saat ini.
Pengawasan pada kerja-kerja yang menyangkut Pilkada baik itu di DPRD, KPUD, Partai Politik maupun calon dan tim sukses, seharusnya sudah mulai dijalankan saat ini. Keputusan-keputusan yang terjadi di lembaga-lembaga tersebut diatas bisa jadi sangat rentan dengan kepentingan elit dan politik uang. Kalau saja ke depannya, lembaga-lembaga masyarakat mau mengedepankan informasi mengenai jejak rekam para kandidat (political tracking) Pilkada sebagai referensi pemilih, maka pemantauan yang dilakukan saat ini, akan memberikan kontribusi baik pada kualitas maupun kuantitas informasi.
Sekedar catatan menyangkut political tracking, masalah yang sering dikeluhkan oleh banyak kalangan yang terlibat, adalah soal keterbatasan waktu dan minimnya alat verifikasi. Hal ini sebetulnya tidak akan terjadi manakala sejak saat ini, proses jejak rekam kandidat dikerjakan tanpa harus menunggu pengumuman calon. Sering dikeluhkan pula, bahwa data political tracking hanya berkenan dengan calon-calon yang pernah menduduki jabatan publik saja. Hal semacam ini disamping soal prioritas tapi lebih didasarkan pada ketersediaan data. Pejabat publik nota bene sering diberitakan media dan menjadi pembicaraan publik karena itu informasinya gampang diperoleh. Padahal calon-calon yang berada di rana non publik yang selama ini belum banyak menjadi liputan media juga memiliki track record yang tidak amat gemilang. Siapa mereka, mulai nampak saat-saat ini ketika mereka mulai menggalang dukungan.
Beberapa organisasi juga sudah mulai memikirkan untuk penyelenggaraan jajak pendapat (polling). Tentu hasil polling bukanlah hasil Pilkada itu sendiri tapi sekedar menggambar suatu fenomena prilaku pemilih. Yang perlu diingat, Independensi polling tidak ditentukan oleh pernyataan yang dikeluarkan lembaga polling, tapi pada metodologi yang digunakan, ketepatan pengambilan sampling dan kesediaan lembaga yang bersangkutan mempertanggungjawabkan kerja hingga memperlihatkan data-data yang diolah.
Beberapa hal yang dikemukakan pada kesempatan ini, tentu tidak akan mencakup banyak persoalan yang muncul dari Pilkada termasuk memberi perhatian pada kebijakan dan pelaksanaan Pilkada tersebut. Masih terlalu pagi memang, tapi juga jangan sampai kita terlambat.
Penulis, Koordinator Program Political Tracking dan Peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta.
(Artikel ini dikirim ke Pos Kupang, 26 Oktober 2004)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar