Menyiapkan Calon DPD


Oleh Benjamin Tukan

PERSIAPAN pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih belum menarik perhatian publik. Sementara untuk persiapan pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saat ini ramai menjadi pembicaraan. Khusus menyangkut DPD, fenomena ini mengungkapkan sejumlah persoalan menarik menyangkut hubungan daerah dengan politik nasional, kinerja yang ditunjukkan DPD Pemilu 2004 dan sambutan kita atas pesta lima tahunan yaitu pemilu.

Pertama, tampaknya kesibukan pemilihan umum masih sebatas kesibukan peserta pemilu. Banyaknya calon DPR/DPRD dan didukung oleh mesin partai hingga ke tingkat desa cukup banyak menyedot perhatian. Sementara, calon-calon DPD sudah dari awal pendaftaran pencalonan, dilakukan seorang diri, kemudian seorang diri pula menjambangi jaringan-jaringan di tingkat masyarakat. Jika jaringan serius menanggapi tawaran dari calon, maka kerja pun semakin melibatkan banyak orang. Tapi kalau orang-orang di jaringan hanya sekadar berbasa basi, maka pembicaraan pun hanya sampai di situ saja. Tidak merembes maupun menetes.

Kedua, persoalan kewenangan DPD yang tidak setara dengan DPR yang menjadi perbincangan selama kurang lebih empat tahun ini, ternyata membawa efek di tingkat masyarakat untuk meremehkan lembaga DPD. Sepertinya lembaga DPD hanya formalitas belaka, tidak berguna karena pengambilan keputusan menjadi hak suara DPR.

Terkesan bahwa DPD tidak lebih dari LSM dan ormas yang hanya diminta pendapatnya, sedangkan keputusan tetap ada di DPR. Maka menyibukkan diri dalam persiapan pencalonan DPR jauh lebih berguna daripada bekerja untuk DPD. Ataupun juga, mencalonkan diri jadi anggota DPR/DPRD jauh lebih menguntungkan daripada menjadi calon anggota DPD. Sudah kerja sendiri, terpilih nanti pun tak ada kerja pula.

Ketiga, jika DPD dirancang untuk mewakili daerah dalam politik nasional, maka pengakuan akan daerah punya andil dalam menentukan politik nasional belum sepenuhnya mengakar dalam masyarakat daerah. Sentralisme orde baru yang memberi peran besar terhadap pusat rupanya telah menguburkan mimpi-mimpi lokal untuk tampil dalam pentas nasional saat ini. Otonomi daerah lebih membawa kesibukan ke dalam daripada sedikit mengangkat kepala untuk melihat kiri kanan hingga ke tingkat nasional. Bicara tentang nasional, selalu dihantui ketakutan akan dominasi orang-orang yang berada di pusat kekuasaan.

Banyak lagi yang bisa diungkapkan dari fenomena persiapan pemilihan DPD saat ini. Namun, dengan hanya menyebutkan beberapa soal di atas, rupanya publik perlu kembali mendiskusikan lagi keberadaan DPD. Mendiskusikan DPD tidak lain adalah mulai memberi bobot baru bagi keterwakilan politik model ini.
* * *

SATU hal yang perlu diterima yaitu daerah membutuhkan wakilnya di tingkat nasional yang terepresentasi melalui DPD. Keterwakilan ini tidak bisa digantikan oleh DPR sekalipun anggota DPR yang bersangkutan adalah putra daerah dan dipilih dari daerah. DPD dan DPR adalah dua tipe keterwakilan yang berbeda, punya arti pada dirinya sendiri dan tidak bisa saling meniadakan.

Politik Indonesia mengenal cukup baik dua tipe perwakilan ini. Pertama, perwakilan rakyat yang dimanifestasikan dalam DPR/DPRD yang ditentukan oleh parpol, dan kedua perwakilan daerah melalui DPD atau utusan daerah yang baru dipilih langsung pada Pemilu 2004. Di masa lalu, kita juga mengenal dua perwakilan yang lain yaitu, perwakilan fungsional dan perwakilan kelompok sekalipun itu tidak terakomodasikan saat ini.

Dalam hal DPD, negara memerlukan wakil-wakil daerah dan daerah pun berkepentingan menempatkan wakilnya di tingkat nasional. Kepada DPD diberikan beberapa tugas antara lain, mengefektifkan kepentingan daerah, menjaga keutuhan NKRI dan sebagai lembaga kontrol.

Lepas dari kemauan format politik Indonesia akan keterwakilan daerah, dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah kita menjumpai harapan akan adanya keterwakilan itu. Pembicaraan tentang orang-orang daerah yang menasional dalam karya, sering membawa semacam kebanggaan bahkan memberikan semacam anggapan akan representasi kita dalam diri orang-orang itu.

Seorang ilmuwan yang kebetulan berasal dari satu daerah, misalnya, menjadi kebanggaan dan pembicaraan orang-orang yang berasal daerahnya bukan lantaran apresiasi terhadap bidang keilmuan, tapi lebih karena dia orang kita, dan seolah-olah membicarakan sesuatu yang mewakili kita dalam suatu keseluruhan Indonesia. Tidak penting apa yang dibicarakannya, yang penting orang-orang mengakui apa yang dibicarakannya.

Berbeda halnya jika pembicaraan tentang anggota DPR. Walaupun kinerja seorang anggota DPR menunjukkan prestasi yang membanggakan, tetap saja ia dinilai sebagai wakil dari partai politik. Karena itu peran keterwakilan daerah tetap harus dijalankan oleh DPD dan bukan DPR apalagi ilmuwan, pengamat, aktivis, atlet ataupun siswa yang menjuarai lomba bidang studi tingkat nasional.

Itulah sebabnya, pada tingkat yang lebih luas seorang DPD harus memainkan peran sebagai aktor daerah dan simbol daerah di tingkat nasional. Ia tidak hanya menyibukkan diri ke dalam pada persidangan di DPD, tapi juga membangun komunikasi ke luar mewakili daerah dan bekerja bersama-sama segenap komponen dalam daerah yang diwakili. Publik akan menunggu komentar-komentarnya tentang daerah yang diwakilinya karena ia terlibat dalam urusan daerah. Suatu keterlibatan karena memahami perutusan dan bukan semata memahami wewenang.

Dengan demikian, kekuatan yang tidak seimbang dengan DPR, bukan menjadi satu alasan keterwakilan ini tidak memiliki arti. Bahkan boleh dikatakan bahwa kesibukan membicarakan kewenangan DPD (walaupun sudah tahu posisinya tidak setara), sering dijadikan alasan bagi sebagian anggota DPD untuk tidak melakukan terobosan yang signifikan.

Sampai di sini pembicaraan mengenai terbatasnya kewenangan menjadi prioritas yang sekian. Atau mungkin menjadi prioritas pertama untuk rencana amandemen undang-undang. Masih terlalu banyak hal yang bisa dilakukan seorang anggota DPD karena kita memerlukan lembaga ini.
* * *

SUDAH dapat diterima bahwa daerah membutuhkan keterwakilan di tingkat nasional. Namun soalnya di tengah demokrasi Indonesia yang masih muda, tidak bisa beban itu dilimpahkan hanya pada calon ataupun anggota DPD seorang diri. Pemerintah dan masyarakat daerah punya peran untuk memberikan bobot pada keberadaan seorang anggota DPD.

Harapan pertama tentu ditujukan pada pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten untuk memberikan ruang bagi para calon anggota DPD mengaktualisasikan dirinya. Berbagai saluran komunikasi yang dimiliki pemerintah daerah, seyogyanya melibatkan para calon anggota DPD untuk mengenal lebih dekat kebutuhan masyarakat daerah.

Dalam batas-batas yang tidak melanggar undang-undang yang ada, peran pemerintah daerah sangat diperlukan di proses awal seorang menjadi anggota DPD. Sekalipun kita tahu perwakilan daerah bukan satu yang mengada-ada, seorang yang mewakili daerah perlulah dibentuk.

Masyarakat dan institusi-institusi lokal non pemerintah juga dapat mengambil peran agar para calon tidak saja dapat memperkenalkan diri dan programnya, tapi juga memberikan input bagi para calon membuat agenda program setelah terpilih nanti. Pendidikan pemilih dan pengenalan terhadap DPD merupakan langkah awal perbaikan tatanan politik tingkat nasional.

Kepada calon anggota DPD, komunikasi intensif dengan pemerintah dan semua kalangan adalah cara pertama meyakinkan dirinya mampu berkiprah di tingkat yang lebih luas. Kelompok-kelompok masyarakat perantauan juga tidak bisa diabaikan. Kelompok ini memang tidak punya hak suara dan tidak berada di daerah tetapi tetap saja memiliki harapan tentang daerahnya. Barangkali orang berkomunikasi dengan saudaranya yang jauh di perantauan, daripada dengan tetangganya sendiri di kampung halaman.
Dengan berbagai macam kebutuhan dan persoalan yang sama-sama kita hadapi saat ini dan ke depan sudah saatnya seorang anggota DPD dituntut memiliki komunikasi yang baik, semangat dan daya juang yang prima, ketajaman membaca soal, dan kelenturan dalam budaya. Semua ini juga merupakan modal yang dapat disumbangakan untuk kepentingan yang lebih luas.

Persiapan pemilu DPD haruslah bermakna agar tidak membawa kesulitan bagi calon terpilih juga masyarakat. Kita membutuhkan budaya politik yang dimulai dari pemilu ini. Rumah aspirasi, begitu pun dengan pendekatan lainnya yang digagas pada kerja DPD sebelumnya, hanya bisa berjalan dengan baik jika semua itu sudah menjadi budaya politik. Dan budaya politik tidak bisa datang tiba-tiba bersamaan dengan kerja-kerja DPD. *

Pekerja LSM dan pemerhati politik. Tinggal di Jakarta

(Artikel ini dimuat di Pos kupang, 14 Oktober 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar