Kehendak Menjadi Wakil Rakyat

Oleh : Benjamin Tukan

Pada beberapa tahun terakhir ini berkembang tuntutan kepada kalangan pejabat publik agar memiliki Integritas, acountabilitas dan transparansi. Issu-issu ini tidak lain menyiratkan adanya tuntutan terhadap seorang pejabat publik yang bersih dari Kolusi , Korupsi dan Nepotisme (KKN) , bahkan pada dirinya sendiri mampu membedakan ruang publik dan ruang privat sebagai ciri dari demokrasi dan masyarakat sipil. Memang tidak mudah menjalankan tuntutan ini mengingat bertahun-tahun lamanya masyarakat Indonesia terlibat dalam politik patron clien, kekeluargaan yang berbuntut pada kolusi, korupsi dan nepotisme.

Para pejabat publik di negara demokrasi diandaikan bertindak dengan persetujuan warga negara. Jika ini tidak dilakukan maka, sebuah keputusan akan mendatangkan keraguan pada dasar justifikasi (pembenaran) keputusan itu sendiri. Dibandingkan dengan para administrator publik, para wakil rakyat umumnya lebih banyak dituntut independensinya karena dimungkinkan oleh syarat dimana dia dipilih.

Itulah sebabnya seorang wakil rakyat yang dipilih atau dipilih kembali harus memenuhi beberapa persyaratan yang melekat pada dirinya sendiri minimal Integritas diri, integritas finansial dan kulaitas. Sedang pada tingkat partai politik dibutuhkan kebijakan partai pada Issu (sensibilitas), mekanisme rekrutmen partai politik, dan finansial Partai yang teruji.

Jakarta, Pebruari 2004
(Dari berbeagai sumber)

Menilai Kualitas Caleg

Kebijakan, Rekrutmen dan Keuangan Partai

Oleh Benjamin Tukan

1. Kebijakan Partai pada Issu

Untuk partai politik issu kebijakan partai merupakan kunci sentral dalam kelembagaan partai politik. Banyak partai politik hanya sekedar papan nama yang hanya muncul sekali dalam kampanye pemilu. Padahal program yang jelas dari partai mengindikasikan bahwa partai politik tersebut menjalankan fungsi sebagai layaknya sebuah partai. Namun , program partai juga harus dilihat pada rencana kerja partai dan juga kenyataan dalam merealisasikan program tersebut.

Sering partai politik dikenal dengan kemampuan menjalankan fungsi komunikasi politik, agregasi kepentingan dan rekrutmen politik. Tapi apakah ini sudah di jalankan oleh partai politik ? Pengumpulan informasi tentang kebijakan partai politik harus pula melihat platform partai, program partai dan janji-janji partai. Pertanyaan untuk itu adalah apakah partai politik melalui kebijakan-kebijakannya sudah mengakomodasi kepentingan anggotanya? Apakah kebijakan itu ada dan direalisasikan ?

2. Mekanisme Rekrutmen Partai Politik

Rekrutmen yang terjadi dalam partai politik mengindikasikan adanya mekanisme yang berjalan dalam lembaga yang namanya partai politik. Rekrutmen partai politik juga termasuk ada tidaknya pengkaderan, dan juga adanya daftar anggota partai. Menilai mekanisme rekrutmen adalah pekerjaan tersendiri namun saling berhubungan dengan proses internal partai. Hal lain yang segera muncul dalam proses penilaian rekrutmen adalah bagaimana menilai pola seleksi dalam partai politik tersebut. Menilai rekrutmen partai juga menilai dan mengkaji pengurus-pengurus partai , siapa –siapa saja yang terlibat dalam kehidupan partai tersebut.

3.Finansial dan Keuangan Partai

Partai politik di tanah air sering direpotkan dengan masalah keuangan partai. Kebanyakan partai tidak memiliki sumber keuangan dari anggota yang diatur secara jelas. Kebanyakan pula dari mereka yang mengharapkan bantuan finansial dari pemerintah atau orang-orang tertentu yang memiliki kepentingan dengan partai. Masalah keuangan partai adalah Bagaimana Manajemen Keuangan , Standart Keuangan dan Mekanisme Audit. Tapi lebih dari itu sumber keuangan partai dan penggunaan keuangaan itu perlu teridentifikasi.

Jakarta, Pebruari 2004

Membangun Sistem Informasi dan Dokumentasi Parlemen

Oleh : Benjamin Tukan

Informasi adalah data yang diolah. Hal ini berarti bahwa informasi tentang caleg ataupun partai politik tentu berangkat dari suatu pekerajaan pengelolaan dan tidak sekadar menampilakan data-data pasif. Apa yang menjadi titik tolak penilaian, dalam membuat suatu pangkalan data tentang caleg dan partai politik? Di sini dikemukakan dua penilaian. Pertama, penilaian akan peran, fungsi dan wewenang dari wakil rakyat. Fungsi DPR adalah pengawasan, legislasi (membuat Undang-undang) dan fungsi anggaran. Dari sini yang mau dilihat dari setiap pemantauan adalah adanya penyimpangan-penyimpangan, intimidasi, intervensi dari peran dan fungsi tersebut. Pada sisi yang lain, peran dari seorang wakil rakyat ini menuntut tidak terdapatnya jabatan rangkap dengan tugas-tugas di luar dari peran sebagai wakil rakyat.

Kedua, Parlemen sebagai lembaga rakyat dituntut untuk selalu mengedepankan peran rakyat dalam setiap menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Masa reses DPR diharapkan anggota DPR dapat kembali ke wilayah konstituennya untuk “menangkap” aspirasi politik konstituennya. Di lembaga DPR juga terdapat badan-badan yang mengatur penyampaian aspirasi baik dalam bentuk surat, demonstrasi maupun rapat dengar pendapat. Ukuran untuk menilai kinerja DPR dalam hal ini adalah, tingkat frekuensi untuk berkunjung ke wilayah konstituen, proses dan mekanisme pembuatan undang-undang yang melibatkan partisipasi masyarakat , tingkat kehadiran di setiap rapat-rapat di DPR, dan kualitas dari setiap produk yang dihasilkan. Dengan demikian kualitas seorang anggota DPR/DPRD adalah Konsistensi dan orientasi Politik , Keberpihakan terhadap konstituen , Keberpihakan dan konsistensi terhadap issu.
Kualitas Produk kebijakan, dll.

Atas dasar itu sebuah penilaian terhadap seorang calon wakil rakyat dan sebuah partai peserta pemilu mengandaikan (1). Terbangunnya sistem informasi dan dokumentasi profil calon anggota legislatif dan partai politik secara sistematis. (2) Tersebarnya informasi yang kritis tentang calon legislatif dan partai politik kepada publik secara luas. (3) Meningkatnya pemahaman calon pemilih tentang calon anggota legislatif dan partai politik yang akan mereka pilih pada Pemilu 2004. Dan (4) Meningkatnya kemampuan calon pemilih untuk memilih calon legislatifnya secara kritis dan rasional.

Jakarta, Pebruari 2004

Pengenalan Calon Legislatif dan Partai Politik Peserta Pemilu 2004

Oleh : Benjamin Tukan

Upaya pengenalan terhadap siapa , bagaimana dan apa yang pernah dikerjakan wakilnya dan partai pilihannya sebelum dipilih atau dipilih lagi dalam pemilu 2004 merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Belajar dari proses pembahasan hingga disahkan 2 paket UU politik ( UU Partai politik dan UU Pemilu), dapatlah kita berpendapat bahwa kemunculan calon legislatif dan partai politik peserta pemilu nantinya masih di dominasi oleh orang lama atau mereka yang kini tengah duduk sebagai anggota legislatif. Orang lama tidak selamanya harus ditolak. Demikian juga orang baru tidak selamanya akan memenuhi segala harapan publik.

Itulah sebabnya,pengenalan dan pemahaman terhadap para calon penting dilakukan dalam proses politik. Sejarah akan selalu berulang bila pemilih tidak cukup memiliki pengetahuan tentang calon legislatif ini. Soalnya, Partai Politik peserta pemilu dan calon anggota legislatif ini akan selalu berusaha memberikan kesan yang baik terhadap pemilih dengan menampilkan slogan dan janji-janji kampanye yang menarik, sedang pada tingkat masyarakat pemilih tak satupun pengetahuan tentang bagaimana para calon ini sebelumnya berkiprah.

Memang disadari, sejak menguatnya keberadaan institusi parlemen pada era politik di zaman reformasi, banyak pihak, terutama NGOs, telah berupaya melakukan pemantuan lembaga legislatif ini. Ada yang melakukan penelitian, advokasi, dan juga penerbitan berbagai bahan mengenai pemantauan parlemen dalam bentuk buku atau bulletin. Di samping itu, media juga tidak kalah antusiasnya melakukan pemantuan dengan menuliskan berbagai berita seputar kinerja parlemen. Bahkan para jurnalis yang sehari-harinya melakukan pemberitaan mengenai parlemen mempunyai organisasi sendiri yang mereka namakan “Forum Wartawan DPR”. Forum ini bekerja cukup aktif dengan menerbitkan berbagai informasi tentang kinerja parlemen, mulai dari absensi anggota dewan sampai pengkajian RUU yang sedang dibahas di DPR. Media eletronik pun tidak kalah dalam upayanya memantau kinerja parlemen. Program “Parliament Watch” di Metro TV merupakan salah satu contoh bagaimana media ikut berpartisipasi dalam rangka melakukan kontrol terhadap parlemen. Hal yang sama juga berlaku untuk DPRD I dan DPRD II oleh NGO dan media lokal.

Mengamati perjalanan parlemen dan partai politik hasil Pemilu 1999, keberadaan parlemen selalu berangkat setidaknya empat kenyataan berikut ini. Pertama, ada klaim para wakil rakyat yang duduk di parlemen bahwa mereka telah dan dapat mewakili rakyat. Sekalipun klaim semcam ini sesungguhnya sah saja, namun akibat yang muncul adalah wakil rakyat enggan berkomunikasi dengan konstituennya. Bahkan janji-janji kampanye pada pemilu 1999 sudah bukan merupakan prioritas dalam menyusun agenda kerja. Sebaliknya yang terjadi adalah intrik-intrik politik antar fraksi dalam lembaga legislatif bahkan di antara individu sesama anggota wakil rakyat.

Kedua, pada tingkat produk legislasi yang dihasilkan sering tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat bahkan seringkali UU yang dibuat tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu, banyak peraturan yang dihasilkan bukannya memecahkan masalah bahkan hanya menambah masalah. Sering absennya para wakil rakyat dalam persidangan dan, isu suap yang berkembang dalam setiap pembahasan UU, persidangan yang bukan merupakan arena pengambilan keputusan karena keputusan sering terjadi di luar sidang merupakan indikasi lain yang semakin memperburuk wajah parlemen periode 1999 - 2004.

Ketiga, terkait dengan posisi kekuasaan dan fungsi kontrolnya. Lepas dari debat yang ada di bawah tafsir UUD 1945 mengenai fungsi legislatif , kenyataannya parlemen saat ini memiliki posisi kekuasaan terbesar dibandingkan dua pilar kekuasaan lainnya, yakni eksekutif dan yudikatif. Jika DPR secara legal dan resmi dapat mengkontrol pemerintah, dan menentukan posisi-posisi kunci di lembaga judikatif; maka sebaliknya kedua lembaga tersebut, menurut konstitusi, tak diberikan kewenangan lain untuk mengimbanginya. Kekuasaan ini semakin eksesif jika masyarakat warga tak memiliki akses untuk ikut serta mengawasi parlemen.

Keempat. lemahnya partai politik menjalankan fungsi komunikasi politik, dan mengagregasi kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat mengakibatkan perjalanan partai politik di tanah air hanyalah sebatas peserta pemilu. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme yang mengatur hubungan antara wakil partai dan partainya. Pemilihan pengurus partai tidak demokratis tapi berdasarkan penunjukkan dan tidak adanya tranparansi dalam tubuh partai.

Partai politik yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan para pemilihnya (konstituen) ternyata belum mampu menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi lebih mendengar suara dan keputusan para petinggi partai dalam menentukan suara politik mereka. Dengan kata lain, partai politik yang ada di era reformasi ini masih sangat bersifat elitis.

Jika partai politik belum dapat diharapkan untuk menjadi institusi yang dapat mengawasi kinerja parlemen untuk kepentingan yang lebih luas atau publik, bagaimana pemantauan kinerja parlemen secara transparan dan sistematik dapat dilakukan oleh publik?

Jakarta, Januari 2004

Penting Mengenal Wakil Rakyat

Oleh : Benjamin Tukan

PENGENALAN akan siapa, bagaimana dan apa yang pernah dibuat seorang calon legislatif dan partai politik perserta pemilu oleh masyarakat pemilih merupakan suatu kiniscayaan di alam demokrasi saat ini. Pengenalan yang dimaksud adalah ketersediaan informasi yang dibuat oleh masyarakat sendiri tentang siapa yang akan mewakili mereka dalam proses politik nantinya. Pengumpulan informasi di sini lebih dilihat sebagai sumbangan yang tak kalah berartinya untuk tujuan jangka pendek yakni pemilihan umum 2004 dan jangka panjangnya yakni bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam setiap proses politik yang dilakukan para wakil rakyat.

Dengan jalan pikiran seperti itu, sebuah pengumpulan informasi akan berhasil dengan baik jika didukung dengan suatu sistem pengumpulan informasi dan peralatan yang juga memadai. Peralatan yang dimaksud adalah perangkat instrumen yang dapat digunakan setiap waktu bagi pemilih agar tidak saja mampu mengumpulkan informasi melainkan lebih dari itu dapat memilah dan menilai sebuah informasi. Sebaliknya, sebuah sistem dan instrumen yang memadai dapat pula dijadikan acuan bagi setiap individu dan partai politik yang akan mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan umum. Yang mau ditegaskan di sini adalah suatu sistem dan instrumen yang memadai akan mempengarui hasil dari kegiatan pengumpulan informasi tentang caleg dan partai politik.

Memang sedari awal disadari bahwa penciptaan sistem informasi termasuk di dalamnya adalah penciptaan instruman dan pengumpulan informasi tentang caleg dan partai politik minimal memperlakukan tiga pekerjaan sekaligus yakni pemantauan caleg dan partai politik, pencarian fakta atau lebih dikenal dengan investigasi, dan pendokumentasian. Kegiatan pemantauan menghendaki pemantau agar senantiasa “waspada” terhadap peristiwa-peristiwa yang mengandung atau sangat mungkin mengandung pelanggaran. Kegiatan pencarian fakta adalah proses mengidentifikasi adanya pelanggaran-pelanggaran atau adanya hipotesa publik tentang suatu kesalahan yang harus dibuktikan para investigator. Sedangkan pendokumentasian adalah suatu proses merekam fakta –fakta yang relevan dengan pelanggaran itu. Dokumentasi termasuk di dalamnya adalah bagaimana bentu dari sebuah publikasi.

Jakarta, Januari 2004

Terbuka

Diposting Oleh : Benjamin Tukan

Kata di atas menjadi semacam keyword era reformasi kini. Ia merupakan salah satu prasyarat penting dalam praktik penyelenggaraan negara demi terwujudnya partisipasi masyarakat dalam ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Tak terkecuali, keterbukaan juga mesti dipraktikkan oleh DPR. Tanpa keterbukaan, status DPR sebagai lembaga wakil rakyat patut disangsikan.

Keterbukaan atau transparansi, dapat dijalankan DPR dengan memberikan kesempatan kepada publik untuk dapat masuk ke dalam sidang-sidang yang mereka gelar. Dengan demikian publik bisa mengamati, sehingga tahu apa yang dikerjakan anggota Dewan di sana juga tahu keputusan yang diambil. Jadi, baik buruknya Dewan biar publik yang menilai. Toh keberadaan mereka di Senayan juga publik yang menentukan, lewat pemilihan umum tentunya...

Tidak cukup sampai di situ, DPR hendaknya juga membuka akses dokumennya. Dokumen apa? Tentu saja dokumen yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan tertentu. Bukan bermaksud ingin mengambil keuntungan secara sempit, tapi karena hal yang dibahas di DPR berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Jadi sudah semestinya publik harus tahu. Jangan sampai nanti, kebijakan yang diambil justru merugikan kepentingan publik itu sendiri.

Dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan. Intinya, DPR mesti proaktif membuka ruang seluas-luasnya. Banyak wahana yang bisa dipakai, bisa internet bisa juga media massa. Tapi apapun medianya, yang penting lagi adalah peningkatan kualitas sistem database. Pasalnya, meskipun aksesnya telah dibuka tapi kalau ketersediaan datanya minim, lalu data apa yang bisa didapat?

Selebihnya, ini hanyalah usul. Diterima atau tidak, sepenuhnya ditentukan oleh Dewan sendiri. Usulan ini semata-mata karena kita tidak mau lembaga sepenting DPR terus-terusan dipandang sebelah mata hanya karena kurang memperhatikan satu kata: terbuka.

Pemberantasan korupsi dan hidup hemat cara wakil rakyat

Oleh : Benjamin Tukan


KATAKAN saja, salah satu tema penting dari pemerintahan baru pasca pemilu 2004 adalah pemberantasan korupsi. hal ini dimungkinkan karen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjadi calon presiden di hampir setiap kampanyenya selalu tidak lupa menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas kerjanya bila terpilih menjadi presiden kelak. Belum lagi kalau kita melihat kembali pada kampanye legislatif, calon wakil rakyat yang kini menduduki jabatan untuk periode 2004-2009 juga menjanjikan hal yang sama. Karena itu wajar bila, setelah terpilihnya presiden dan pelantikan anggota DPR, publik menunggu dengan harap-harap cemas akan realisasi janji-janji itu.

Rupanya menarik untuk disimak, wacana pekan ini yang berhubungan dengan parlemen dan pemberantasan korupsi. Seperti diberitakan banyak media, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid, menolak untuk menggunakan mobil Volvo yang selama ini diperuntukan untuk pimpinan MPR. Langkah ini khabarnya diikuti juga oleh para pimpinan lainnya di MPR. Bukan cuma berhenti di situ, menjelang pelantikan presiden RI, Hidayat Nur Wahid menepuh langkah berikutnya yakni menolak untuk menginap di Hotel mulia, bahkan kalau memungkinkan ia tidak perlu pulang ke rumah tapi menginap saja di kantor. Lagi-lagi langkah ini diikuti juga oleh sejumlah fraksi di MPR terutama Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). Trimedya Panjaitan, Permadi, dan Gayus Lumbun dari Fraksi PDI-Perjuangan juga ikut menolak menggunakan hotel.

Kalau kita menyimak alasan penolakan, umumnya mengatakan bahwa menggunakan hotel mewah adalah suatu pemborosan dan sebaiknya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Mari kita coba menyimak alasan penolakan tersebut.

Seperti yang diberitakan KOMPAS, 19 Oktober 2004. alasan F-PAN tidak menggunakan fasilitas Hotel Mulia karena jadwal tidak ketat, penghematan biaya, dan suasana Ramadhan. F-PKS beralasan bahwa fasilitas terlalu mewah dan tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat yang menginginkan wakilnya di DPR dan MPR mencontohkan pola hidup sederhana. F-KB mempunyai alasan penggunaan hotel selama sidang adalah pemborosan uang negara dan seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

***

Apapun alasan, langkah yang diambil oleh wakil rakyat tersebut di atas adalah langkah yang patut dipuji. Bagaimanapun selama ini publik selalu meneriakan pemberantasan korupsi dan menyeruhkan agar para pemimpin atau pejabat di negeri ini bisa melakukan penghematan yang berarti tidak hidup dalam pemborosan demi pemborosan. Adalah sebuah ironi bila lembaga yang diharapkan akan bersama rakyat memperjuangkan pemberantasan korupsi justru terlibat dalam segala tindakan menghabiskan anggaran-anggaran negara. Maka langkah ini adalah semacam langkah awal yang baik untuk melakukan pembenahan institusi dan kinerja dari lembaga parlemen khususnya dan gerakan pemberantsan korupsi dinegri ini pada umumnya.

Namun tanpa terlalu silau dengan dengan tindakan para wakil rakyat diawal masa sidangnya, justru yang perlu dipersoalkan adalah apakah langkah-langkah yang diambil akan juga berlanjut pada perumusan peraturan yang mengikat para pejabat untuk tidak melakukan korupsi atau pemborosan ? Sebab, selama ini selalu kita jumpai beberapa orang pejabat yang punya integiras yang memadai, namun tidak banyak artinya manakalah sistem secara keseluruhan tidak turut mendukung. Boleh saja dari mereka punya keinginan untuk memberantas korupsi, atau punya kemampuan menunjukkan integritas diri mereka ke hadapan publik tapi begitu ada perintah dari atasan, atau inisiatif dari sesama yang banyak jumlahnya mereka akhirnya tidak berdaya dan lebih memilih untuk ikut-ikutan mengkomersialkan jabatan.

Setiap kita yang pernah atau sedikit pernah bersimpati atas upaya pemberantasan korupsi, akan menyadari bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan persoalan yang sederhana dan mudah. Upaya ini selain, membutuhkan komitemen pemerintah, wakil rakyat dan lembaga peneggak hukum, juga memerlukan perangkat peraturan yang memadai . karena itu, harapan dari muncul berbagai fenomena di pekan ini adalah bahwa hendaknya komitmen untuk pemberantasan korupsi dapat menyentuh hal yang substansial dan bukan hanya sekedar dipermukaan saja yakni hanya ingin supaya orang tahu.

Tindakan Hidayat Nur Wahid pantas menjadi perbincangan publik lantaran selama para pemimpin hanya bisa mengatakan hidup hemat dan berupaya memberantas korupsi, tapi semua orang tahu kalau para pemimpin juga hidup dalam fasilitas yang bergelimpangan atas nama fasilitas pejabat negara. Langkah Hidayat Nur Wahid ini sekaligus mengatakan bahwa para pejabat harus menyatukan antara kata dan perbuatan. Langkah ini merupakan contoh yang baik yang diharapkan dapat diikuti oleh para pemimpin di jajaran lain di pemerintahan ini.

Jakarta, November 2004
Benjamin Tukan

PENDIDIKAN POLITIK BERBASIS INFORMASI REKAM JEJAK (TRACK RECORD) KANDIDAT PILKADA


Oleh : Benjamin Tukan


Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan pengejawataan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yaitu kedaultan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang-undang . semangat pasal 1 ayat 2 tersebut diperjelas lagi pada Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang mengharapkan agar Pilkada terlaksana secara demokratis, sehingga melahirkan Pemimpin kepala daerah yang kreibel, ekseptabel , kapabel dan legitimated.


Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada Juni – Agustus 2005

Secara operasional sebagai landasan pelaksanaan Pilkada telah dijabarkan lebih jauh dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan PP No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahan Pengkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada tingkat pelaksanaan, sejak Juni hingga Agustus 2005, terdapat 173 daerah telah melaksanakan pilkada. Beberapa daerah lain memang belum melaksanakan Pilkada karena masih menunggu ”tanggal jatuh tempo” berahirnya masa jabatan kepala daerah. Sekalipun dilaksanakan dalam landasan hukum yang sama yang bberpengaruh pada prosedure dan tata cara secara seragam, namun dalam pelaksanaannya di beberapa daerah kepada kita disodorkan berbagai kekhususan-nya sendiri-sendiri karena berbedanya dinamika politik, karakter pemilih dan cara-cara penyelesaian masalah.

Secara umum hasil-hasli pilkada menandakan antusiasime masyarakat dan para pemimpin di daerah. Tapi dari beberapa catatan diatas, pilkada masih harus membutuhkan beberapa penyempurnaan baik dari segi kualitas prosedure rekrutmen kandidat, pemilihan dan perbaikan institusi pendukung pilkada. Penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang pilkada adalah hal yang harus diagendakan. Perubahan undang-undang itu diataranya, menjadikan pilkada sebagai suatu pemilihan umum dibawa kewenangan KPU. Karena itu perlu dibuat UU tersendiri atau digabungkan saja dengan UU pemilu legislatif dan Presiden. Kemudian beberapa hal yang menyangkut calon independen, akses informasi, penghapusan masa kampanye dan pengaturan yang tegas tentang masa tenang adalah hal-hal lain yang perlu diakomodir lagi dalam UU tersebut.

Kendati demikian, jika kita masih berpatokan pada UU yang ada sekarang, maka beberapa hal penting harus menjadi perhatian. Pertama, lembaga penyelenggara harus memastikan adanya sosialisasi dan terbukanya akses informasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya haruslah diakui tidak adanya aturan yang baku dan terperinci menyangkut kewajiban KPUD, pemerintah, partai politik dan tim sukses kandidat untuk memberikan informasi menyebabkan beragam pula penerapan di lapangan. Beberapa anggota KPUD sangat terbuka untuk memberikan informasi, tetapi tidak sedikit KPUD yang menutup-nutupi informasi dengan alasan rahasia negara, atau demi menjaga privasi kandidat. Padahal informasi mengenai kandidat misalnya, sangat penting untuk pemilih menentukan kandidat mana yang akan dipilih. Pemilih bisa saja salah memilih bila kepadanya diberikan informasi yang keliru atau informasi yang seadanya. Ketertupan informasi ternyata tidak hanya membawa kerugian pada calon yang gagal dalam seleksi tapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.

Kedua, perlu memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak membawa resiko yang besar dikemudian hari. Ini artinya bahwa pemerintah, DPRD , KPUD dan Panwasli setempat harus meyakinkan bahwa proses pilkada telah dilalui dengan benar dengan jaminan bahwa semua warga yang memenuhi persyaratan memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pilkada.


Pendidikan Politik Berbasis Informasi Jejak Rekam


Mencermati semangat diadakan pilkada, nampak Pilkada langsung diyakini sebagai salah bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Ini tentu berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi melalui wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Atas dasar itu, Pilkada secara langsung haruslah dikembalikan pada tujuan semula sebagai sarana demokrasi terpenting dalam proses perwujudan konsepsi kedaulatan rakyat dan instrumen perubahan politik yang akan berlangsung secara berkala.

Itulah sebabnya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung, pada gilirannya harus diupayakan dengan membangun kedaulatan dan partisipasi rakyat (kelompok marginal) melalui transformasi budaya politik yang memberdayakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Transformasi budaya politik dilakukan dengan membangun kesadaran politik rakyat yang kritis dalam melakukan pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam memberikan suara (voting behavior). Karena itu, perubahan perilaku politik pemilih (voters’ behavior) menjadi sangat signifikan dalam upaya menciptakan kelompok pemilih kritis.

Ada beberapa faktor kunci yang menjadi landasan dasar dalam membangun kelompok pemilih yang kritis (critical voters). Pertama, membangun kesadaran rakyat tentang pentingnya membuat pilihan politik yang tepat. Kedua, menciptakan keterbukaan informasi yang memungkinkan rakyat mampu mengenal dan memahami siapa elit politik yang layak dipilih nantinya. Ketiga, perlu dibangun kerjasama antara rakyat, organisasi non pemerintah (ornop), organisasi rakyat dan organisasi pendidikan pemilih (voter education organization) dalam menyediakan informasi yang menyeluruh dan akurat tentang kandidat dan partai politik.

Mengingat pentingnya jejak rekam kandidat untuk menciptakan pemilih kritis, maka pada pelaksanaan Pilkada, hal yang perlu dipikirkan adalah pendidikan politik masyarakat berbasis informasi jejak rekam kandidat. Pendidikan Politik berbasis informasi Jejak Rekam Kandidat dimaksudkan antara lain, (1) bagaimana pelibatan masyarakat dalam menyusun dan mempromosikan kriteria dan metodologi, termasuk membangun system informasi mengenai jejak rekam kandidat. Kriteria yang disiapkan perlu juga mengedepankan agenda-agenda konkrit yang dihadapai kelompok marginal sekaligus mendorong elit yang terpilih untuk berpihak pada persoalan-persoalan masyarakat marginal. (2) bagaimana meningkatkan kemampuan teknis dari para pemanantau termasuk menilai kredibilitas LSM dan organisasi masyarakat yang akan melakukan pemantauan jejak rekam. Hal ini penting mengingat belum mentradisinya budaya investigasi dan dokumentasi dikalangan ornop pemantau jejak rekam. (3) bagaimana meningkatkan kemampuan kelompok marginal untuk membangun jaringan di tingkat lokal dalam upaya memperoleh dan menyebarkan informasi ke tengah masyarakat.

Jakarta, Pebruari 2005

Mengawali Agenda Pemilihan Kepala Daerah Langsung


Oleh: Benjamin Tukan


(Artikel ini ditulis tahun 2004, disaat Pemilihan Kepala daerah secara disetujui oleh DPR)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung sudah pasti dilaksanakan, setelah pemerintah Megawati diakhir masa jabatannya (29/9), mensahkan RUU Pemerintahan Daerah menjadi UU No 32 Tahun 2004. Dengan demikian, pertanyaan dan keraguan mengenai jadi tidaknya Pilkada secara langsung terjawab sudah. Sekarang yang masih ditunggu adalah bagaimana rumusan-rumusan aturan teknis baik itu melalui peraturan pemerintah maupun petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari KPU/KPUD. Ada persoalan yang masih menjadi pembicaraan saat ini menyangkut tuntutan merevisi pasal-pasal mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, tapi itu sepertinya tidak mempengaruhi jadi tidaknya Pilkada secara langsung.

Kalau saja kita menengok ke belakang pada perkembangan proses pemilihan kepala daerah sebagai pelaksanaan dari UU No 22 Tahun 1999, dihampir semua propinsi, kabupaten/kota selalu muncul dari adanya dugaan politik uang dalam pemilihan tersebut. Akibatnya dalam pelaksanaan pemerintahan daerah selama kurun waktu lima tahun ini bermunculan banyak persoalan. Kita bisa menyebutkan kolusi antara DPRD dan Eksekutif yang tertanam sejak pemilihan, berjalan terus hingga perumusan kebijakan-kebijakan daerah di kemudian hari. Di samping itu berbagai persoalan lain yang dibawah oleh UU no 22 tahun 1999, menyangkut pula kesimpangsiuran wewenang lembaga-lembaga daerah, hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat dengan pemerintah akibat dari rendahnya dukungan rakyat.

Kepastian menyelenggarakan pilkada secara langsung tentu merupakan suatu berita yang menggembirakan. Betapa tidak, pilkada secara langsung telah diyakini dapat menjadi solusi atas krisis keterwakilan politik dan krisis parpol yang terjadi selama ini. Seperti yang sering dikemukakan banyak kalangan, bentuk pemilihan baru ini dinilai sebagai kerangka sistem (system framework) yang mampu mendorong partisipasi publik, memperkuat legitimasi politik dan akuntabilitas pemerintahan, memungkinkan ceck and balance antara DPRD dan Eksekutif daerah, sekaligus mengikis trend oligarkhi partai politik, politisasi, dan money politik pada pemilihan kepala daerah.

Namun demikian, apakah pilkada secara langsung yang kian ramai dibicarakan akan serta merta menjadi perwujudan dari demokratisasi? Apakah pilkada secara langsung nantinya akan mengeliminasi politisasi dan money politics yang kemudian dapat menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas dan mendapat dukungan kuat dari rakyatnya ? Dua pertanyaan ini rupanya layak diajukan di awal kita melakukan persiapan hingga pelaksanaan pilkada nantinya. Sebab, bukan tidak mungkin yang dimaui dari sistem baru kemudian hanya merupakan kesibukan para elite politik saja yang rentan dengan politik pengatasnamaan dan politik uang. Sadar atau tidak hari-hari ini, ketika mata dan hati masyarakat sedang menunggu kepastian peraturan-peraturan teknis, perbincangan tentang taktik dan startegi sudah mulai digelar oleh para elite politik.

Menyambut pilkada secara langsung nantinya, hal lain yang perlu disadari sejak awal adalah soal prilaku pemilih masih cendrung berbasis pada afiliasi komunal. Karena itu perluasan ruang partisipasi dalam pemilihan kepala daerah pada gilirannya harus mendorong pula pada peningkatan kesadaran politik rakyat yang terlihat dalam kemandirian pemilih (baca: rakyat) dalam menentukan pilihan politiknya.
Dengan kata lain, jika pilkada secara langsung dipahami sebagai sarana demokrasi terpenting dalam proses perwujudan konsepsi kedaulatan rakyat dan instrumen perubahan politik yang kemudian berlangsung secara berkala, rakyat harus mampu memahami fungsi dan tujuan dari perubahan tersebut.
Rakyat harus menyadari bahwa pilihan politiknya akan membawa konsekuensi politik yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lima tahun mendatang. Oleh karena itu pula , keputusan rakyat untuk menentukan siapa elit politik yang akan berkuasa nantinya harus disertai dengan kemampuan rakyat mengontrol dan mengevaluasi kinerja elit politik baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun di legislative.

Membangun kembali kedaulatan dan partisipasi rakyat mengharuskan adanya transformasi budaya politik yang memberdayakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini. Dalam Pilkada nantinya, harus menjadi wujud nyata pentingnya pilihan politik rakyat dalam menentukan arah demokratisasi Indonesia di masa mendatang pada umumnya dan demokrasi pemerintahan di tingkat local pada khususnya. Transformasi budaya politik ini sudah tentu dilakukan dengan membangun kesadaran politik rakyat yang kritis dalam melakukan pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam memberikan suara (voting behavior). Oleh karena itu, perubahan perilaku politik pemilih (voters’ behavior) menjadi sangat signifikan dalam upaya menciptakan kelompok pemilih kritis baik yang dilakukan dalam Pemilu legislative dan presiden (pemilu nasional) maupun dalam pilkada (pemilu local) .

Belajar dari proses pemilu legislative dan presiden , ada beberapa faktor kunci yang menjadi landasan dasar dalam membangun kelompok pemilih yang kritis (critical voters). Faktor kunci pertama adalah membangun kesadaran rakyat tentang pentingnya membuat pilihan politik yang tepat. Pengalaman pemilu di Indonesia menunjukkan kebanyakan masyarakat menilai pemilu hanya sebagai sebuah pesta demokrasi yang ritualistik. Belum terbangunnya kesadaran politik yang kritis dari rakyat lebih disebabkan karena rakyat tidak tahu siapa yang terpilih karena itu berada dalam wilayah kewenangan partai politik. Hal ini diperburuk dengan rekrutmen kandidat pejabat publik yang oleh parpol sifatnya tertutup memungkinkan terjadi perkoncoan politik dan sama sekali tidak memperhatikan masalah aspirasi dan keterwakilan politik. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan komunikasi politik antara partai politik dan kelompok pemilih yang mampu meningkatkan kesadaran politik rakyat dalam menentukan pilihannya.

Masih pada pembelajaran tentang pemilu legilstaif, faktor kunci kedua adalah menciptakan keterbukaan informasi yang memungkinkan rakyat mampu mengenal dan memahami siapa elit politik yang layak dipilih nantinya. Ketertutupan informasi sering membuat pemilih cepat percaya pad aiming-iming yang dikampanyekan kandidat. Karena itu, sedari sekarang perlu dibangun kebutuhan rakyat terhadap keterbukaan informasi politik sehingga rakyat lebih kenal dan tahu siapa yang layak dan dapat diharapkan menjadi wakil yang akan memimpin mereka. Pengenalan disini lebih ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang latar belakang dan kinerja para kandidat dan partai politik peserta pemilihan. Hanya dengan itu, publik bisa semakin yakin bahwa pilihannya ternyata tidaklah keliru. Public semakin disadari bahwa kandidat yang terlibat dalam politik uang tidak layak dipilih karena akan menyuburkan praktek dan budaya korupsi dikemudian hari.

Persoalan menilai kelayakan kandidat dan partai politik pada gilirannya bermuara pada criteria apa yang dipakai dalam penilaian tersebut. Budaya politik yang paternalistik dan otoriter yang terjadi selama ini telah menciptakan kebiasaan masyarakat yang enggan menilai latar belakang dan kinerja pemimpinnya. Tanpa adanya kebiasaan melakukan penilaian dengan kriteria penilaian yang jelas, hanya akan berdampak pada penilaian like and dislike. Sering kali pilihan yang bersifat emosional dan perhitungan jangka pendek yang demikian, dalam kenyataan sering jauh dari harapan. Untuk itu, perlu dibangun kerjasama antara rakyat, organisasi non pemerintah (ornop) dan organisasi pendidikan pemilih (voter education organization) dalam menyediakan informasi yang menyeluruh dan akurat tentang kandidat dan partai politik.

Memang disadari selama ini sejak bergulirnya reformasi 1998, banyak pihak termasuk media massa dan Ornop , telah berupaya melakukan pemantauan atas kinerja pejabat public baik ditingkat legislative maupun pada tingkat eksekutif. Berbagai bentuk pemantauan yang terjadi selama ini pada satu sisi dinilai sangat berhasil namun disisi lain dalam hubungan dengan pemanatauan jejak rekam dalam pemilihan nantinya masih jauh dari sempurna.

Pemantauan yang bersifat posistif dapat kita lihat dari bemunculnya kasus-kasus korupsi, dan kritik masyarakat atas kinerja pemerintahan di hamper semua wilayah di Indonesia. Sedangkan pada tingkat kekurangan dapat disebutkan antara lain, (1) masih tersebarnya data-data pemantauan sehingga tidak diketahui secara luas, (2) tingkat akurasi data yang ada, (3) belum ada kerjasama antara pihak-pihak tersebut dalam membangun system pemantauan sistematis dan kompherensif, (4) belum teristematisnya data yang ada sebagai bahan untuk menilai ditambah lagi masih perlunya pemantauan pada kandidat yang tidak sedang menjabat.

Itulah sebabnya, seperti pemantauan jejak rekam pada pemilu legislative dan pemilu presiden 2004, pada pilkada yang akan dimulai juni 2005 harus mulai dipikirkan pembagunan kapasitas Ornop di daerah dalam melakukan pemantauan. Penguatan kapasitas dimaksudkan antara lain, (1) bagimana menyusun dan mempromosikan criteria dan metodologi, termasuk membangun system informasi mengenai jejak rekam kandidat. (2) bagaimana meningkatkan kemampuan teknis para pemanantau termasuk menilai kredibilitas ornop yang akan melakukan pemantauan jejak rekam , dan (3) bagaimana meningkatkan kemampuan ornop pemantauau membangun jaringan ditingkat local dalam upaya memperoleh dan menyebarkan informasi.

Pengembangan Kapasitas Ornop dalam Pemantauan Jejak Rekam Partai Politik dan Kandidat Pemilihan Kepala Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota merupakan kegiatan yang sangat strategis untuk mendorong terwujudnya akuntabilitas politik elit terhadap masyarakat pemilih. Dengan menjadikan pemantauan politik sebagai kegiatan integral dalam proses seleksi elit politik, masyarakat diharapkan mampu bersikap kritis dalam menilai dan memilih elit-elit politik yang akan duduk dalam jabatan public. Karena itu, program pemantauan politik harus dilihat sebagai masukan penting dalam proses seleksi publik terhadap elit politik yang akan memimpin dalam upaya membangun pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

BERBAGAI SOAL DALAM PEMILU LEGISLATIF 2004

OLEH : Benjamin Tukan

Salah satu fungsi dari pemilihan umum legisatif adalah rekrutmen anggota legislative. Melalui pemilihan umum, partai yang (idelanya) selama ini melakukan kaderisasi dan rekrutmen anggota untuk menduduki posisi-posisi public mengajukan calon-calon untuk dipilih.

Partai Politik diyakini sebagai sumber awal proses rekrutmen anggota legislative. Karena itu , selalu dipahami bahwa kualitas parlemen memang sangat ditentukan oleh kualitas parpol, sekalipun bukan satu-satunya penentu. Dengan demikian, selain mekanisme dan proses pemilu, pola rekrutmen yang dilakukan oleh parpol menjelang pemilu dan sesudah pemilu perlu juga mendapat perhatikan jika hendak mendapat gambaran tentang kualtias anggota parlemen.

Di bawah ini merupakan catatan-catatan lepas seputar persoalan-persoalan yang muncul dari pemilu legiastaif 2004. Persoalan-persoalan tersebut layak dicatat dan diperhatikan untuk keperluan : pertama, melakukan penilaian apakah pemilu 2004 dapat memberikan sedikit perubahan pada kualitas anggota legislative (menilai kualitas hasil dari proses). Kedua, apakah dari persoalan yang muncul dalam pemilu tersebut bisa dipredikisi tingkah laku politik yang muncul kemudian dari para anggota legislative.

1.Perangkat Hukum
Perangkat hukum yang mengatur pemilihan umum (undang-Undang No 23 / 2002 tentang partai Politik, UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum, beserta Juklak dan Juknis KPU), dapat dikatakan lebih maju dari perangkat hukum yang mengatur pemilu sebelumnya, sekalipun dapat dikatakan belum optimal.

Ada beberapa persoalan yang muncul dari perangkat hukum ini adalah:

a.Banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi partai politik tidak sebanding dengan waktu pendaftaran dan verifikasi partai politik, baik di KPU maupun Dep. Kehakiman. (Waktu dinilai terlau singkat sedangkan syarat dinilai sangat mengada-ada). Konsekuensinya adalah peraturan ini sangat menguntungkan partai-partai besar karena telah memiliki kepengurusan di hampir semua wilayah kabupaten di Indonesia.

Sementara untuk partai-partai kecil atau partai yang baru didirikan, pembangunan infrastruktur tentu bukan persoalan yang gampang. Menarik dicatat bahwa dibeberpa tempat kelahiran partai-partai baru sempat menyedot antusiasme dan perhatian masyarakat, namun terpaksa harus menerima kenyataan tidak menjadi peserta pemilu lantaran tidak memenuhi batasan kepengurusan di wilyah lain seperti yang dimaui undang-undang. Belum lagi bila melihat kelemahan proses verifikasi itu sendiri, dimana terjadi banyak ketimpangan yang sampai kini tidak jelas penyelesaiannya.

Dalam hubungan dengan rekrutmen caleg oleh partai politik, kelemahan dari undang-undang dan kelemahan dalam proses verivikasi menyebabkan ketika mengajukan daftar caleg oleh partai peserta pemilu, umumnya bersifat dadakan. Banyak caleg yang semula tidak membayangkan dirinya diikutsertakan dalam rombongan caleg partai tertentu akhirnya pasrah menerima sekalipun berada diurutan bukan nomor jadi. Sedangkan pada urutan nomor jadi adalah caleg drop-dropan dari pusat. Fenomena lain, adalah banyak diantara caleg yang nota bene dianggap mampu dan dikenal oleh masyarakat setempat harus berada dinomor-nomor sepatu , lantaran untuk nomor jadi ditempati pengurus partai yang prosesnya bisa dikatakan proses jadi-jadian.


b.Pendaftaran Pemilih dinilai tumpang tindih karena melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda ( BPS, KPU dan Depdagri). Akibatnya banyak pemilih tidak terdaftar dan berarti tidak ikut pemilih. Perangkat hukum yang adapun belum optimal mengakomadasi para pemilih kelompok mariginal dan penyandang cacat. Untuk pengajuan daftar caleg syarat sehat jasmani dan rohani hamper sulit dijelaskan terutama untuk kelompok-kelompok penyandang cacat.

c.Pembagian daerah pemilihan dan jatah kursi tidak jelas diatur dalam UU sehingga menyita banyak waktu untuk perdebatan ditingkat KPU. Bahkan KPU sendiri saat itu masih juga menunggu keputusan DPR. Akibatnya, semakin sedikit waktu untuk persiapan partai politik di daerah pemilihan yang bersangkutan. Sekalipun kemudian KPU bisa mengatasinya namun penentuan daerah pemilihan ini juga berdampak langsung pada penempatan caleg di daerah pemilihan tersebut. Proses yang tidak terlalu lama menyebabkan dalam penentuan caleg didaerah pemilihan masing-masing selain didrop dari atas tapi juga nomor urutan caleg menjadi persoalan tersendiri. Jika kita bandingkan dengan hasil pemilu saat ini banyak kabupaten yang semula memiliki wakilnya di DPR terpaksa tidak memeiliki wakil lagi lantaran tidak memehuhi bilangan pembagi pemilih dan harus menyerahkan pada nomor urut jadi.

d.Pencalonan anggota Legislatif masih membuka kesempatan bagi calon-calon diluar daerah pemilihan yang bersangkutan. Issu nomor sepatu dan nomor peci dalam penentuan daftar calon dari partai politik, menyebabkan terjadi money politik dan barter politik yang berlangsung dalam partai yang bersangkutan. Ketentuan mengenai quota 30% perempuan juga merupakan pasal karet dalam pemilu yang baru lewat.

e.Dalam teknis pelaksanaan tidak jelas diatur kewenangan KPU terutama dalam pengadaan barang, kebebasaan akses informasi di lembaga-lembaga yang bersangkutan. Juga tidak jelas soal akses public terhadap data dan informasi yang dimiliki KPU. Juga menyangkut keterlamabatan dalam pengiriman surat suara dan kotak suara (logisltik pemilu).

2.Kampanye dan Janji Kampanye:

Dari segi proses kampanye, belum banyak perubahan berarti karena masyarakat masih menganggap kampanye sebagai pesta dimana status pemilih telah hanya sebatas supporter. Ada usaha untuk mengubah staus supporter ini menjadi votters tapi belum banyak berhasil. Sedangkan pada tingkat janji-janji kampanye yang dilontarkan para caleg dan jurkam umumnya masih berhubungan dengan tema –tema kampanye nasional dan kurang sekali mengangkat issu-issu local. Untuk tema nasionalpun masih menyerupai kampanye 1999, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, pendidikan murah , ekonomi kerakyatan dll. Tidak banyak issu baru yang diproduksi demikianpun tidak banyak solusi konkrit yang diusulkan. Dengan demikian, benar bila dikatakan kampanye merupakan saat-saat caleg menabur janji-janji surga.

3.Politik Uang
Politik uang sepertinya sulit diminimalkan bahkan bila melihat pemilu 2004 kemarin, sepertinya semakin marak politik uang tersebut lebih-lebih pada saat pencalonan dan saat kampanye. Beberapa fakta bisa dicatat di sini , misalnya partai Golkar menghimbau para caleg untuk “menyetor ke partai Rp. 100 Juta” (tempo, 21 /3/04). Hal yang berlaku pada partai Golkar juga berlaku pada partai lainnya.

Hal lain adalah masalah money politik saat kampanye dan tingginya biaya kampanye. Berdasarkan pemanaauan Transparency International (TI) Indonesia, selama petaran pertama kampanye di 15 persen daerah pemilihan PDIP mengeluarkan dan kampanye terbanyak sebesar Rp. 3,6 miliar. Nilai ini masih ditambah dengan biaya iklan di televisi yang biaya penayangannya hingga minggu kedua kampanye mencapai Rp. 7 milyar. Dibelakngnya menyusul PAN dengan Rp. 1,9 milyar, PPP (Rp. 1,8 milyar) , PKB (Rp. 1,4 milyar) PKS (Rp.1,3 milyar) partai Golkar (Rp. 836 juta), PKPB (Rp. 508 juta) , serta PBB (Rp. 284 juta) (Sumber : kompas, 27 Maret 2004)
Partai Golkar, seperti diberitakan Kompas, 02 April 2004, selama 21 hari kampanye telah menghabiskan dana Rp. 82 miliar. Dana yang masih tersisa 700 juta. Dana itu lebih kecil dibandingkan pada kampanye pemilu 1999yang menghabiskan Rp. 108 miliar.

Tentu saja , politik uang semacam ini akan berpengaruh ketika caleg tersebut akan menajadi anggota legislative atau ketika ia memperoleh kekuasaan. Apa konsekuesi dari semua ini adalah kita akan menuai suatu pemerintahan yang semakin membirakan kleptocracy (pemerintahan suap).


4.Kontrak Politik, Politisi Busuk, dan Political Tracking :

Fenomena Pemilu 2004 yang lain adalah maraknya kontrak politik, munculnya istilah poltisi busuk oleh Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk, dan tracking caleg . Asumsi yang melatar belakangi kontrak politik adalah terputusnya tali mandat antara masyarakat (pemilih ) di satu pihak dengan anggota dewan di lain pihak. Juga belajar dari pengalaman parlemen hasil pemilu 1999, umumnya anggota parlemen jaringan yang terputus dengan pemilih.

Namun yang menjadi kandala adalah pekerjaan penandatanganan kontrak politik semacam ini oleh para politisi (caleg) lebih ditanggapi sebagai persoalan serimonial belaka atau formalitas belaka. Issu politisi busuk dan tracking caleg tidak banyak efektifnya karena system pemilu memberikan kewenangan begitu besar kepada partai dalam menentukan siapa yang akan menjadi anggota legislative nantinya. Impilkasi berkenaan dengan kerja parlemen ke depan adalah masih belum efektifnya mandat rakyat terhadap kerja parlemen dan masih minimnya pemahaman tentang kedaullatan rakyat.



5.Caleg di dominasi mereka –mereka yang berasal dari kota :

Menarik juga diamati catatan Kompas, 1 Maret 2004 , yang menyebutkan bahwa kebanyakan caleg yang diusulkan oleh partai adalah mereka-mereka yang berasal dari kota. Dalam kajian yang dilakukan Litbang Kompas, domisili para caleg terpetakan dalam tiga kategori , yaitu caleg yang bermukim di daerah pencalonan , caleg yang bermukim diluar daerah pencalonan dan para caleg yang bermukim di ibukota Negara. Hasilnya, hanya 27,9 persen saja yang kesehariannya hidupnya dijalankan didaerah pencalonannya. Bagian terbesar merupakan kalangan yang tidak bertempat tinggal di daerah pencalonan. Yang mengejutkan adalah , diantara para calon yang bermukim di luar daerah pencalonan bagian terbesar (40,9 persen ) justru “orang-orang Jakarta”. Implikasi pada keberpihakan di masa dating.

6.Selebriti jadi caleg

Fenomena selebriti yang jadi caleg bukan persoalan baru. Pemilu sebelumnya juga terjadi hal serupa. Sekalipun belum ada kajian yang rinci yang menunjukkan perbandingan antara pemilu 1999 dan 2004 dalam soal ini, dapat secara acak disimpulkan bahwa fenomena ini menunjukkan ketidak percayaan parpol yang bersangkutan. Ini berarti bahwa selama ini aktivis parpol ternyata kurang popular dibandingkan dengan seorang artis. Tanpa bermaksud meremehkan kualitas dari mereka yang menyandang profesi artis catatan mengenai hubungan antara partai politik dengan massa rakyat perlu pula didefenisikan kembali.

7.Politisi “Tahan Kelas” , Politisi “Naik Kelas”, Politisi “kembali ke Kelas” dan Politisi Lompat Pagar

Dalam pengamatan sepintas, para caleg umumnya masih didominasi oleh muka-muka lama yaitu mereka yang pernah atau sedang menduduki kursi legislative. Untuk soal ini menarik diperhatikan adalah mobilitas para caleg tersebut. Sepintas ada beberapa kategori yaitu caleg tahan kelas. Yaitu para caleg yang sekarang sedang mendudki posisi legislative dan mencalonkan lagi untuk posisi yang sama. Caleg Naik kelas adalah para caleg yang sebelumnya berada di posisi legislative daerah kini mencalonkan diri untuk posisi legislative nasional. Ada juga caleg yang masuk dalam kategori ketiga adalah politisi kembali ke kelas, adalah mereka yang pernah menduduki posisi legislative bahkan untuk beberapa perode tapi absent dip erode terakhir dan kini mencalonkan diri untuk posisi yang sama. Fenomena lain yang muncul dari pencalonan para caleg adalah bermunculan para caleg lompat pagar alias caleg yang pindah partai dengan alasan pragmatisme politik.

Kiranya, beberapa catatan-ini dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan baik dalam penyempurnaan regulasi bidang politik maupun bagi peningkatan kualitas proses pemilu selanjutnya.

Jakarta, Juni 2005
(Tulisan ini dibuat untuk kepentingan diskusi)

Pemantau Jejak Rekam Kandidat Dalam Pilkada

Oleh : Benjamin Tukan

Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang dimulai awal Juni 2005 tentu berbeda dengan pemilihan kepala daerah yang sebelumnya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perbedaan yang cukup menonjol adalah bahwa kali tanpa perlu diwakili, Rakyat yang mempunyai hak memilih dapat secara langsung memilih siapa yang dikehendaki untuk mempin daerahnya. Karena itu, kedaulatan rakyat dalam memilih menjadi kata kunci pada setiap pembicaraan tentang Pilkada Langsung.

Terlepas dari masih banyaknya kekurangan yang menyangkut penetapan calon baik yang ditunjukan dari regulasi yang mengatur Pilkada langsung maupun pada tingkat penerapannya yang dilakukan oleh KPUD dan Partai Lokal, wacana yang berkembang yang berhubungan dengan pemilihan kepala daerah masih menyimpan harapan agar rakyat harus tetap mampu memilih. Itulah sebabnya, inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat dan ornop di tingkat lokal untuk mengembangkan program pemenuhan kebutuhan informasi tentang kandidat yang berpihak pada rakyat tentu merupakan sebuah terobosan. Apalagi bila dalam pelaksanaannya, kerja-kerja pemenuhan kebutuhan akan informasi dapat menjadi kerja bersama elemen masyarakat.

Pelaksanaan Pilkada Langsung dibeberapa tempat kabupaten/kota tidak lepas dari persoalan ini. Dengan digagasnya program pemenuhan kebutuhan akan informasi tentang kandidat yang berpihak pada rakyat tentu dimaksudkan agar sejak awal pemilih (rakyat) dapat sungguh mengenal siapa calon yang berpihak pada rakyat dan kelompok marginal. Sekalipun demikian, usaha untuk mencapai hasil yang maksimal, tentu butuh kerja ekstra terutama dalam hal bagaimana kelompok-kelompok yang mengerjakan program tersebut memiliki kapasitas yang makasimal, baik dalam penggalian kebutuhan masyarakat yang berpengaruh pada kriteria penilaian , maupun pengumpulan informasi hingga penyebaran informasi tersebut. Karena itu, kegiatan asistensi yang dilakukan tidak lain adalah upaya bersama semua elemen masyarakat untuk melakukan syaring pengalaman dalam rangka kerja-kerja pemenuhan kebutuhan informasi terhadap kandidat.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka pekerjaan asistensi yang akan dilakukan harus mulai dengan penyusunan rencana kerja dan pembuatan modul pelatihan yang memadai. Memang, beberapa pihak mempunyai pengalaman dalam pemantauan jejak rekam kandidat, namun pembaruhan perpektif kerja dengan menyesuaikan dengan kebutuhan dan konteks persoalan masing-masing wilayah adalah hal yang tidak bisa diabaikan.

Karena itu, diawal kegiatan asistensi perlu dilakukan kegiatan awal berupa penyusunan rencana kerja dan penyusunan modul pelatihan. Kegiatan ini akan didahulu dengan penggalian informasi tentang Pilkada dan kesiapan masyarakat baik melalui pemberitaan media, maupun melalui informasi yang diberikan oleh ornop yang akan mefasilitasi program pemenuhan kebutuhan akan informasi kandidat.

Hal kedua yang dilakukan diawal program ini adalah melakukan diskusi terbatas antara tim asistensi dan tim pengumpul data untuk menyusun rencana kerja yang terukur dan modul pelatihan. Diharapkan dengan adanya rencana kerja strategis akan terjadi sinergi antar tim asistensi yang dapat mendorong optimalisasi kinerja program asistensi.


(Pokok-pokok pikiran berkenaan dengan penyusunan Program Political Tracking dalam Pilkada, 2005)

Program Pemenuhan Informasi dalam Pilkada


Oleh : Benjamin Tukan

Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) diyakini sebagai sarana demokrasi terpenting dalam proses perwujudan konsepsi kedaulatan rakyat dan instrumen perubahan politik yang akan berlangsung secara berkala. Ini tentu berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi melalui wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Itulah sebabnya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung, pada gilirannya harus diupayakan sebagai dasar membangun kedaulatan dan partisipasi rakyat (kelompok marginal) melalui transformasi budaya politik. Transformasi budaya politik yang dimaksud adalah upaya membangun kesadaran politik rakyat yang kritis dalam melakukan pilihan-pilihan politiknya, terutama dalam memberikan suara (voting behavior). Karena itu, perubahan perilaku politik pemilih (voters’ behavior) menjadi sangat signifikan dalam upaya menciptakan kelompok pemilih kritis.

Ada beberapa faktor kunci yang menjadi landasan dasar dalam membangun kelompok pemilih yang kritis (critical voters). Pertama, membangun kesadaran rakyat tentang pentingnya membuat pilihan politik yang tepat. Kedua, menciptakan keterbukaan informasi yang memungkinkan rakyat mampu mengenal dan memahami siapa elit politik yang layak dipilih nantinya. Ketiga, perlu dibangun kerjasama antara rakyat, organisasi non pemerintah (ornop), organisasi rakyat dan organisasi pendidikan pemilih (voter education organization) dalam menyediakan informasi yang menyeluruh dan akurat tentang kandidat dan partai politik.

Mengingat pentingnya pengenalan pemilih dan kandidat dalam Pilkada, maka disetiap pilkada perlu mempersiapkan suatu program political tracking (pemantauan Jejak rekam). Program ini akan melibatkan berbagai elemen masyarakat baik saat perumusan kriteria, pengumpulan informasi dan pada saat penyebaran. Program ini juga punya nilai strategis karena kriteria yang disusun disesuaikan dengan kebutuhan dan keberpihakan kandidat terhadap persoalan yang ada dalam masyarakat setempat. Perhatian pada program ini memiliki arti penting bagi upaya mendorong kualitas pemilihan kepala daerah langsung yang dapat menjamin adanya partisipasi masyarakat dan keberpihakan elit terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat marginal.

Hasil yang diharapkan meliputi (1) Peningkatnya pemahaman NGO dan Kelompok Marginal, terhadap peta persoalan dan kebutuhan yang dihadapi kelompok marginal untuk dijadikan kriteria penilaian keberpihakan kandidat pilkada. (2) Peningkatnya pengetahuan dan keterampilan NGO dan Kelompok Marginal dalam hal pemantauan jejak rekam untuk memenuhi kebutuhan informasi di kalangan pemilih kelompok marginal menyangkut keberpihakan kandidat terhadap kepentingan kelompok marginal. (3) Adanya rencana kerja strategis di antara NGO dan Kelompok Marginal dalam upaya penyebaran informasi di kalangan pemilih kelompok marginal. (4) Adanya lesson learned dari seluruh tahapan kegiatan yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan program pemenuhan kebutuhan informasi di kalangan pemilih kelompok marginal menyangkut keberpihakan kandidat terhadap kepentingan kelompok marginal di daerah lain yang melaksanakan Pilkada.



(Pokok-pokok pikiran berkenaan dengan penyusunan Program Political Tracking dalam Pilkada, 2005)

Menyiapkan DPR dari Pembahasan UU Susduk

Oleh : Benjamin Tukan


Ada harapan besar terhadap perbaikan kinerja DPR setelah berkahirnya Orde Baru dan pemilihan umum 1999. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa selama hampir empat tahun masa jabatan DPR 1999 –2004, berbagai persolan ditubuh DPR belum bisa diatasi termasuk hubungan kerja dengan eksekutif dalam merumuskan setiap undang-unadang.

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2002 yang diharapkan akan mereposisi peran DPR, ternyata masih juga menimbulkan polemik diseputar tugas dan wewenang DPR dalam formatnya yang baru berhubungan dengan DPD. Anggapan bahwa dengan melakukan reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD, justru memunculkan peran yang semakin dominan dari DPR. Hal semacam ini diperparah lagi dengan keingininan partai-partai beasar dalam mempertahankan status guonya dalam kedua kedua UU Politik baik itu UU Parpol maupun UU Pemilu.

Walaupun banyak pihak melihat problem perbaikan kinerja DPR dan DPD nantinya dapat diatasi dengan pencalonan dan pemilihan secara langsung calon anggota legislatif pada pemilu 2004, tetapi pada tingkat yang paling nyata prilaku politik yang menentukan kinerja legislatif selalu mendasarkan diri pada atauran formal yang berlaku. UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD yang mengatur legislatif periode 1999-2004 pada kenyataan lebih dijadikan acuan kerja Dalam prateknya, UU Susduk ini selalu dijadikan semacam alasan pembenaran anggota dewan dalam menghadapi tuntutan reformasi dan demokratisasi. Betapa strategisnya Undang-undang ini, kenayatan lain menunjukkan bahwa sering pemantauan terhadap legislatif belum banyak didasari pada ketentuan formal sehingga kontrol lebih dinilai tidak punya dasar formal.

Pebruari 2003 DPR membentuk pansus untuk membahasa RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hampir sama dengan persoalan di UU Susduk yang sebelumnya, kali ini RUU Susduk akan mengalami berbagai perubahan akibat dari amandemen keempat UUD 1945, UU Pemilu dan UU partai Politik. Ada semacam pemikiran yang berkembang dalam penyusunan UU tersebut saat ini adalah bahwa UU hanya sedikit menyinggung masalah proses , mekanisme dan hal –hal teknis lainnya untuk pelaksanaan hak , tugas dan wewenang lembaga dan secara umum diserahkan pengaturannya dalam masing-masing Peraturan Tata Tertib . demikianpun dengan pengaturan kode etik juga diserahkan ke masing-masing lembaga. Penyusunan UU Sususduk yang baru ini juga akan sangat dipengaruhi dengan UU Otonomi daerah.

Kiranya dapat disimpulkan bahwa RUU Susduk atau kemudian dijadikan UU Susduk memiliki arti penting dalam menentukan kinerja dari Legislatif. Betapa tidak. Kerja dan hubungan kerja anggota legislatif ke depannya akan sangat ditentukan oleh perumusan Undang-undang. Itulah sebanya, hal ini mendorong Lembagan Studi pers dan pembangunan (LSPP) melalui unit kerjanya Database Parlemen (www.awasiparlemen.org ) mengambil issu pembahasan UU Susduk ini sebagai tema penelitian. Ada dua alasan khusus mengapa LSPP memandang perlu untuk melakukan penelitian sekaligus pendokumentasian pembahasan RUU Sususduk.

Pertama, Masih minimnya literatur yang dapat dijadikan acuan untuk melihat kinerja DPR apalagi yang khusus membahas perdebatan tentang UU Susduk. Akibatnya, banyak perhatian pada kinerja DPR akan sangat sulit bila hanya mengacu pada ketentuan formal tanpa melihat konteks dan perdebatan yang melingkupinya. Pengalaman amanademen keempat UUD 1945 bisa dijadikan pengalaman dimana kepentingan-kepentingan yang bertarung dalam perumusan itu berimplikasi pada penentuan wewenang DPR. Sama halnya dengan yang terjadi pada RUU Pemilu dan RUU Partai politik yang nota bene sarat dengan kepentingan-kepentingan partai besar. Sayangnya perdebatan di seputar Amandemen , UU Pemilu dan Partai politik sampai kini belum ada yang tertarik untuk mempublikasikan atau memang pada waktu itu tidak ada perhatian.

Kedua, dalam rangka memperkuat kinerja dari legistaif periode 2004-2005 dirasakan perlu dibuat sebuah dokumentasi yang memadai tentang Undang ini. Dengan demikian anggota legislatif hasil pemilu 2004 akan dapat mengikuti proses perumusan UU ini tanpa begitu saja menerima dan menjalankannya. Hal yang sama juga dapat dijadikan acuan untuk untuk setiap orang dalam melakukan perbaikan kinerja legislatif 2004-2009

Jakarta, Juni 2004

Menyiapkan Pemilih dalam Pilkada


Beberapa Catatan dari suatu FGD Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemilih

Oleh : Benjamin Tukan

Dari kegiatan FGD Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemilih dalam Pilkada tercatat beberapa hal :

1. Masyarakat yang terwakili oleh para Peserta yang hadir dalam FGD tersebut mempunyai perhatian yang besar terhadap Pilkada. Peserta sangat antusias mengajukan pendapat tentang permasalahan yang dirasakan berhubungan dengan Pelaksanaan Pilkada. Pada saat yang sama peserta juga secara aktiv memberikan masukan tentang harapan terhadap proses Pilkada dan Kandidat terpilih nantinya.

2. Sekalipun sebagian peserta memotret persoalan Pilkada dalam hubungan dengan jaminan kedaultan rakyat dan pentingnya keberpihakan kandidat terhadap agenda rakyat, permasalahan yang menyangkut aspek penyelenggaraan oleh KPUD dan kerja-kerja TIM Sukses terkesan lebih banyak dimunculkan sebagai persoalan yang berhubungan dengan Pilkada. Karena itu, tindakan seperti manipulasi, pembagian sembako, pembuatan KTP Gratis yang diindikasi melibatkan pemenangan salah satu kandidat dirasakan merupakan perbuatan yang tercela dan dianggap sebagai permasalahan penting yang berhubungan dengan pilkada.

3. Menyangkut pengenalan pemilih terhadap kandidat dalam Pilkada, nampak peserta minim pengetahuan akan kandidat. Kecuali incumbent, kandidat lain nyaris tidak dikenal. Ini pun masih harus dicatat bahwa umumnya peserta tidak mengetahui jejak rekam dari semua kandidat yang maju dalam Pilkada. Ada semacam kebutuhan untuk mengenal siapa calon kandidat. Namun informasi itu yang sangat terbatas.

4. Dari segi kriteria calon yang merupakan pilihan dan harapan masyarakat terungkap dua hal yang harus jadi perhatian yaitu pertama pemimpin yang bersih dan yang kedua pemimpin yang memihak kepentingan rakyat. Namun kembali pada pada persoalan minimnya pengenalan terhadap kandidat, nampak peserta belum banyak mengetahui kandidat mana yang bersih dan berpihak pada rakyat. Penilaian soal bersih dan berpihak lebih dilihat dari fenomena tim sukses menggalang dukungan.

5. Kontrak Politik merupakan salah satu tolak ukur dalam menilai kandidat yang berpihak kepada masyarakat. Karena itu, calon yang melakukan kontrak politik dirasakan adalah calon yang memihak kepada rakyat.

6. Bagi peserta, untuk melihat keberpihakan kandidat juga dapat dilihat dari program dan janji kampanye yang dapat direalisasikan hanya dalam 5 tahun. Menurut peserta yang mengajukan usulan tersebut, dengan membuat program 5 tahun lebih nampak program itu kongkrit dan realistis.

7. Peserta juga mengusulkan agar perlu dibuat pendidikan pemilih, dan pemberdayaan masyarakat secara bersama-sama. Dalam hubungan dengan pengenalan jejak rekam kandidat maka peserta mengusulkan agar perlu dibuat badan atau lembaga khsusus yang independen yang bekerja menyediakan data tentang kandidat.

8. Potensi yang dirasakan penting untuk didayagunakan dalam penyebaran informasi kritis adalah kelompok-kelompok dalam masyarakat. Inipun bisa diartikan bahwa penyebaran dalam bentuk masif dipandang kurang efektif apalagi kelompok-kelompok masyarakat saat inipun sudah melakukan sosialisasi tentang Pilkada.


Medan, Juni 2005

Benjamin Tukan

Problem Utama DPR: Lemahnya Representasi Publik

Diposting Oleh : Benjamin Tukan


Penyebab utama menurunnya kinerja DPR dinilai karena lembaga ini belum benar-benar menjadi representasi rakyat, konstituennya. Konstituen atau pemilih belum berdaya, karena tak mempunyai kekuatan untuk mengontrol “wakil”-nya di Senayan. Apalagi menarik dukungannya jika kinerja anggota dewan tidak maksimal.


Demikianlah pendapat yang mengemuka dalam diskusi publik membahas hasil temuan LSPP tentang rendahnya kinerja DPR, Selasa (30/5). Para panelis yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Bomer Pasaribu, Staf Ahli DPR Partogi Nainggolan dan Peneliti LIPI Syamsudin Haris. Sementara dari LSPP tampil Bejo Untung.

Tidak jelasnya sistem representasi DPR juga menyebabkan para anggota dewan tidak tegas dalam menentukan sikap, sehingga yang banyak terjadi adalah kompromi. Salah satu bentuk kompromi adalah dalam hal pembentukan fraksi. Di dalam Tata Tertib DPR diatur bahwa fraksi hanya boleh terbentuk jika mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Secara otomatis, partai yang tidak mencapai angka itu harus bergabung dengan partai lain. Padahal, belum tentu ada kesamaan visi dan misi di antara partai-partai tersebut.

“Bahkan sekarang ada fraksi yang anggotanya hanya 9 orang saja,” ungkap Bomer menegaskan. Terlepas dari pernyataan Bomer tersebut—data Sekretariat Jenderal menunjukkan minimal anggota fraksi yang ada sekarang ini adalah 13 orang, yaitu Fraksi Partai Damai Sejahtera—tapi yang jelas minimnya jumlah anggota dalam satu fraksi akan menimbulkan problem tersendiri. Sebagaimana telah ditetapkan bahwa DPR terdiri dari alat-alat kelengkapan, utamanya adalah Komisi yang sekarang ini jumlahnya ada 11. Ini artinya, fraksi yang jumlah anggotanya 13 orang hanya dapat memenuhi tempat di komisi saja.

Padahal selain komisi juga ada alat kelengkapan lain, di antaranya adalah Panitia Khusus (Pansus) yang dalam satu kali masa sidang jumlahnya bisa lebih dari 20. Sebagaimana Komisi, Pansus juga mesti beranggotakan secara merata berdasarkan unsur fraksi. Pada fraksi yang jumlah anggotanya banyak tak masalah. Tetapi bagi fraksi kecil ini akan menyebabkan anggota merangkap keanggotaan Pansus. Seorang anggota fraksi kecil bisa merangkap lebih dari 8 pansus. Ini tentu saja berpengaruh terhadap proses kinerjanya. Apalagi bila dikaitkan dengan temuan LSPP bahwa banyak anggota DPR yang meninggalkan ruangan saat sidang masih berlangsung, justru karena alasan akan mengikuti rapat Pansus di tempat lain.

Lemahnya Representasi
Selain menyebabkan ketidaktegasan sikap, lemahnya representasi juga mengakibatkan kaburnya makna publik. Dalam sistem yang sekarang ini berlangsung, “publik” tidak dimaknai sebagai konstituen tetapi massa mengambang (floating mass). Wajar saja jika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) merupakan rapat yang paling sering dilakukan. Padahal jika jelas konstituennya dan ada mekanisme hubungan yang jelas antara anggota DPR dengan konstituen, penyerapan aspirasi sebenarnya cukup dilakukan di tingkat ini saja. Nyatanya, meskipun RDPU sering dilakukan tetapi tak banyak aspirasi yang terserap.

“Ke depan, kita harus memperbaiki sistem Pemilu, agar persoalan threshold diatur dengan tegas sehingga tidak ada kompromi lagi dan DPR akan bekerja dengan sungguh-sungguh,’’ ungkap Partogi memberikan solusi.

Selain itu juga perlu dibenahi soal sistem kepartaian. Partai yang ada sekarang ini, menurut Syamsudin, telah menjauhkan diri dengan konstituennya. Entah apa penyebabnya, tapi yang jelas interaksi konstituen dengan partai intensitasnya naik hanya pada saat Pemilu saja. Setelah itu, kembali jarak akan terbentang. Di tingkat partai saja sudah terjadi alienasi. Apalagi ketika partai-partai telah bermetamorfosis dalam bentuk fraksi-fraksi di DPR.

‘’Yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana kita mendesakkan agar undang-undang bidang politik dibahas lebih awal, tidak menunggu sampai tahun 2007 atau 2008,’’ tegas Syamsudin.

Perkuat Komisi
Persoalan lain dari ketidakjelasan representasi ini adalah makin menguatnya ‘kekuasaan’ fraksi. Karena anggota DPR bukan semata-mata dipilih langsung oleh konstituennya—tetapi juga ditentukan oleh Partainya—maka praktis mereka, seperti diistilahkan oleh Syamsudin, tidak mempunyai ‘kedaulatan individu’. Namun demikian Syamsudin tidak sepakat jika fraksi ditiadakan. “Fraksi masih dibutuhkan, cuma peranannya atau fungsinya mesti dibatasi,’’ ujar Syamsudin.

Keberadaan fraksi ini memang sering mengemuka dalam berbagai forum yang mendiskusikan DPR. Pun menjadi sorotan banyak pihak yang menginginkan parlemen lebih berdaya. Banyak pihak menilai keberadaan fraksi hanya akan mengukuhkan DPR sebagai lembaga politik yang sempit. Sebab menurut mereka, fraksi tak lebih hanya sebagai kepanjangan kepentingan (interest extension) partai belaka.

Sebagai pilar demokrasi, sudah semestinya DPR memperkuat komisi, bukan fraksi. Tentunya banyak cara yang bisa dilakukan. Mungkin salah satunya adalah dengan mengedepankan Tatib (tata tertib) yang lebih terbuka. “Tatib harus dibuat secara terbuka, sehingga tidak muncul kepentingan-kepentingan pragmatis fraksi semata,’’ ungkap Partogi. (Tim Mandat)

Jakarta, 2006

Mana Program Partai?


Oleh Benjamin Tukan



PERSIAPAN menghadapi Pemilihan Umum 2009 mendatang sudah luas berkembang. Tampaknya, persoalan penempatan nomor urut caleg tetap menjadi ajang perebutan politik. Sementara, pelibatan rakyat dalam persiapan pemilu dan program yang akan dikerjakan pasca pemilu nanti masih samar-samar, bahkan hampir tak tampak.

Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan sebagian politisi kita saat ini masih beranggapan bahwa belum saatnya membicarakan program, apalagi melibatkan rakyat dalam pemilu. Hal ini bisa dimaklumi lantaran program sering ditanggapi hanya sebagai pelengkap keramaian pemilu. Ekstrimnya, program bisa dipesan, dibuat sekadarnya saja, dan asalkan diusahakan sedikit berbeda. Sedangkan pelibatan rakyat hanya dibutuhkan saat pawai dan upacara-upacara yang membutuhkan mobilisasi massa.
Bukan pemandangan yang baru, dengan mengikuti tahapan-tahapan pemilu yang disodorkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), para politisi kita lebih sibuk mengejar batas waktu pengisian Daftar Calon Sementara (DCS) yang harus diselesaikan dalam bulan-bulan ini. Jauh dari pertimbangan mengejar waktu, pembicaraan di tingkat politisi dan partai politik lebih pada hitung-hitungan kemenangan di daerah pemilihan.

Ada semacam kegamangan menghadapi pemilu. Di satu sisi pemilu dianggap sebagai kesempatan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan, namun disisi lain ada kesadaran dari politisi akan keterbatasan dukungan karena banyaknya calon dan partai. Di sinilah persoalan nomor urut menjadi begitu penting dan menyibukkan.
Sementara, para pengurus partai sudah merasa aman untuk ditempatkan di urutan nomor-nomor muda karena merasa punya otoritas menulis atau mencoret nama caleg yang berdatangan. Pengurus partai tidak lagi mau menyadari keterbatasan dirinya, apalagi mengakui dan memberi tempat pada oranglain yang lebih mampu.

Ironi tentu saja, jika pemilu sebagai gerakan rakyat memperbaharui kehidupan politik, ditanggapi sebagai upaya untuk memperbaiki nasib diri sendiri. Mengherankan tentu saja, kehendak untuk berkuasa tidak disertai dengan hal-hal apa yang akan diperjuangkan bila kemenangan itu datang. Mengharukan jika kehidupan politik sebagai perjuangan untuk keadilan bersama, dimulai oleh politisi dengan mengandalkan kemangan dari isu primordialisme di tingkat Dapil.
***

SEBENARNYA kalau saja para politisi memahami bahwa pemilu bisa dijadikan suatu gerakan rakyat memperbaharui kehidupan politik, maka tidak sulit dalam pengaturan teknis pemilu termasuk penempatan nomor urut. Kemenangan pemilu nantinya adalah kemenangan bersama yang didukung oleh pluralitas dalam masyarakat. Partai yang menang adalah cermin dari pilihan politik rakyat, demikian caleg yang terpilih adalah mereka yang berkompeten mewakili rakyat. Bagi yang tidak terpilih tetap menjadi bagian dari gerakan rakyat mendukung atau mengoreksi jalannya pemerintahan.

Jika dicermati, sekurang-kurangnya kita sudah menjalankan dua kali pemilu legiastif di masa reformasi ini, satu kali pemilihan presiden dan beberapa kali pemilihan kepala daerah. Pemilihan-pemilihan itu tentu telah memberikan kita begitu banyak pelajaran untuk melangkah di Pemilu 2009 nanti.

Dari pemilu ke pemilu kita semakin sadar bahwa pilihan politik sangat menentukan perkembangan politik lima tahunan. Kita sadar bahwa pilihan kita berbasis kekeluargaan dan kedaerahan ternyata justru membawa problem jika tidak disertai dengan penilaian akan kemampuan dan keberpihakan dari calon. Begitupun, kampanye politik yang menyebarkan program politik sekadar pelengkap dan terkesan monolog, membuat kita kesulitan menghubungkan tali mandat antara pemilih dan mereka yang dipilih.

Memang, pilihan karena emosional kekeluargaan dan kedaerahan, kadang membawa kepuasan. Jalan-jalan dikampung beraspal, namun ketika tinggalkan kampung orang kemudian harus bersusah paya menghadapi jalan-jalan berbatu. Ketika gaji sebagai wakil rakyat dipakai untuk membiayai ongkos sekolah keluarga, ternyata mengalami problem juga ketika harus berinteraksi dengan minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Rumah hunian, yang dibangun atas jerih payah sebagai anggota legislatif, ternyata menjauhkan wakil rakyat dari kehidupan sosial sesungguhnya.

Pada gilirannya, orang mulai sadar bahwa melebih-lebihkan kampung sendiri akan membawa keterasingan bagi diri sendiri dan orang lain. Terpilihnya kawan bahkan keluarga yang menghadirkan kebanggaan sesaat, sama sekali tidak menguntungkan masa depan kita bersama. Kita harusnya makin sadar, bahwa menghadapi Pemilu 2009, sedari sekarang pembicaraan dan persiapan harus lebih matang, tidak saja karena perubahan membutuhkan tindakan secara keseluruhan, tapi juga persoalan yang dihadapi pun semakin kompleks.
***

KEDEWASAAN pemilih harus diikuti dengan kedewasaan politisi dan partai politik. Pemilu haruslah berjalan dalam ranah memperbaharui negosiasi, memuluskan mandat antara rakyat dan wakilnya. Di sinilah 'pertemuan' antara program partai dan siapa celegnya mendapat relevansinya.

Program partai bukanlah janji-janji kosong, tapi menjadi pertimbangkan pemilih mengidentifikasi dengan caleg yang diajukan. Program harusnya realistis dan menyentuh persoalan pemilih. Dari sini pemilih menilai apakah caleg yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas untuk menjalankan. Kampanye politik adalah kesempatan pemilih untuk membandingkan dan mempertentangkan posisi-posisi kebijakan dan para kandidat.

Karena itu, pemilu bukan hanya menjadi kesibukan caleg dan partai politik semata, tapi juga kesibukan rakyat. Para penggiat masyarakat, intelektual organik di tingkat kampung, mahasiswa juga sarjana yang pulang ke kampung memiliki tugas yang sama untuk memperlapang demokrasi yang sesungguhnya dengan pilihan-pilihan politik yang berkualitas. Kita harus memberi tempat pada mereka yang pantas sebagai wakil rakyat dan bukan menempatkan kesombongan primordial yang mengorangkan orang lain.

Karena itu, di tengah pergulatan kita dengan urusan yang melelahkan di tingkat partai politik untuk membereskan daftar calon, ada baiknya kita semua peserta wacana dari kampung hingga perkotaan mulai mendiskusikan program caleg dan partai juga membicarakan siapa caleg yang akan mengembangkan program. Caleg atau partai yang hanya sibuk mengutak atik nomor urut dan tidak murunkan programnya tidak layak diapresiasi, sekalipun dia saudara kita, kawan kita, juga orang sekampung kita. *

Jakarta, Pebruari 2009

Benjamin Tukan
Pekerja LSM dan penulis buku biografi
dan pemerhati politik, tinggal di Jakarta.

Mengapa DPR Perlu Dipantau ?


Oleh : Benjamin Tukan

PARLEMEN secara umum dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara khusus, memiliki peran yang signifikan dalam negara demokrasi. Begitu pentingnya peran parlemen terutama sebagai penyaluran aspirasi rakyat, membuat undang-undang, pengawasan dan penyusunan anggaran, maka tuntutan perubahan dan penyempurnaan sistem keparlemenan yang dilakukan dari dalam dan dari luar parlemen selama ini dan kedepan merupakan hal yang tidak terhindarkan.

Perubahan sistem keparlemen termasuk sistem rekrutmen parlemen yang dilakukan sejak pemilu 2004, adalah sustu terobosan penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan ini sekalipun belum maksimal dan belum memuaskan, namun cukup memberikan harapan akan berjalannya suatu perwakilan politik di Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya.

Dari riset pemetaan persoalan tentang DPR yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 1 Agustus – 1 Oktober 2005 , terutama yang menyangkut opini publik terhadap parlemen, terlihat cukup jelas bahwa parlemen hasil 2004 dengan sistem pemilu yang baru, diawal kerjanya telah memberikan optimisme di kalangan publik tentang perbaikan fungsi parlemen. Kendati demikian, dari riset yang sama menunjukan bahwa harapan yang tinggi tidak bertahan lama bahkan menurun ketika parlemen telah berhadapan dengan tugas-tugas keseharian. Dalam riset tersebut juga ditemukan anggapan dari publik bahwa DPR tidak mampu menyalurkan aspirasi yang berkembang di masyarakat, juga tidak peka akan intrik-intrik yang menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat. Hal ini seringkali lebih dikarenakan DPR tidak memahami konteks masalah yang berkembang

Sekalipun penelitian tersebut disadari masih menggunakan sumber dari media, tapi kurang lebih mengambarkan juga tentang peranan yang cukup penting yang dimiliki Fraksi-fraksi di DPR. Peranan yang dominan ini, terutama dalam hal mempengaruhi pengambilan keputusan, menyebabkan suara-suara anggota dewan menjadi tidak berarti bahkan suara-suara anggota dewan yang marginal semakin tersingkir. Hal lain yang dijumpai dalam riset tersebut adalah posisi Ketua dewan yang memiliki peran politis yang dominan dalam legislatif. Akibatnya dewan yang tercermin dalam posisi ketua dewan memiliki porsi yang lebih besar pada peranan politisnya. Ini berarti kepentingan politik lebih dikedepankan dan permasalahan substansial sering tidak disebut-sebut.

Penurunan harapan ini hampir sama jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya dari hasil pemilu 1999. Riset ini menunjukan bahwa belum terjadi perubahan signifikan atas kinerja parlemen di mata publik, sekalipun reformasi perundangan kurang lebih memungkinkan perbaikan kinerja tersebut. Perbaikan kinerja parlemen ternyata masih menemukan kandala dalam aturan-aturan yang mengatur kerja parlemen. Jika diperhatikan hasil riset kerangka regulasi yang dilakukan oleh LSPP bersamaan dengan penelitian opini publik dan advokasi NGO, ternyata masih banyak regulasi yang mengatur internal kerja DPR yang harus perlu diperbaiki termasuk memantau pelaksanaan aturan-aturan itu.

Pada pemetaan kerangka regulasi ditemukan masih banyak aturan-aturan yang tidak sinkron, tumpang tindih, tidak jelas, kurang memadai dan tidak perlu. Dari fungsi legislasi misalnya, terdapat tumpang tindih antara peraturan konstitusi dengan peraturan-peraturan lainnya. Ini disebabkan karena ketidakjelasan konsep yang digunakan dalam konstitusi sehingga tumpang tindih bahkan tidak sinkron pada aturan-aturan dibawanya. Publik sering tidak mendapatkan penjelasan yang memadai kenapa suatu undang-undang diterima atau ditolak.

Hal yang sama juga berkenaan dengan partisipasi publik yang belum banyak dan belum tegas diatur dalam aturan-aturan kelegislatifan. Fungsi pengawasan dan anggaran kurang lebih sama dengan fungsi legislasi. Dalam soal kunjungan kerja, tidak ada aturan yang bisa membuat anggota DPR mempertanggungjawabkan kegiatan kunjungan kerjanya pada konstituennya secara transparan.

Dalam persidangan, ternyata risalah tidak diwajibkan pada rapat DPR kecuali rapat paripurna dan rapat paripurna luar biasa. Padahal untuk untuk suatu tuntutan pada sisi akuntabilitas dan transparansi misalnya, risalah rapat tersebut harusnya dibuat, mudah diakses dan bisa disebarluaskan.

Di luar riset yang dilakukan LSPP, dapat dikemukakan disini bahwa tuntutan perbaikan kinerja parlemen ternyata bergaung juga di internal parlemen. Sebut saja, beberapa anggota parlemen dengan berani mengajukan tuntutan kenaikan gaji dengan alasan untuk memperbaiki kinerja mereka. Selain itu kehadiran Dewan Kehormatan dan inisiatif beberapa anggota parlemen untuk membentuk kaukus tata pemerintahan, juga contoh lain yang menunjukan adanya tuntutan perubahan dan perbaikan atas kinerja parlemen.

Berhadapan dengan kondisi menurunnya kinerja parlemen dan tuntutan perbaikan atas kinerja tersebut, tidak keliru lagi kalau pada lokakarya hasil riset LSPP, banyak muncul rekomendasi agar perlu dilakukan pemantauan pada dinimika internal parlemen sekaligus mulai memikirkan bentuk-bentuk baru komunikasi politik antara konstituen dan wakilnya, demikian sebaliknya.

Ada semacam kesadaran bahwa memang selama ini telah banyak kerja-kerja pemantauan parlemen, namun kebutuhan untuk memikirkan suatu bentuk pemantauan yang komprehensif tentang parlemen sebagai upaya mendorong akuntabilitas parlemen masih jarang dilakukan. Konkritnya, pada rekomendasi level pemantauan disebutkan ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, pertama, pemantauan pada aktor dan jaringan aktor. Kedua, pemantauan pada level kapasitas lembaga termasuk sekretariat DPR. Kedua level pemantauan ini pada gilirannya akan menghasilkan berbagai data dan rekomendasi baik untuk perubahan kinerja DPR maupun sebagai salah satu media komunikasi antara konstituen dan wakilnya.

Pada tingkat advokasi yang sering dilakukan NGO, kebutuhan akan pemantauan kemudian mendorong perbaikan pola dan strategi advokasi selama ini. Riset LSPP tentang advokasi yang dilakukan oleh NGO cukup memberikan gambaran awal tentang pola dan dinamika NGO berhadapan dengan parlemen. Disadari bahkan ditemukan juga dalam riset ini belum benyak dilakukan terobosan dari metode advokasi oleh LSM, khususnya dalam tingkat legislatif. Kalaupun ada, hanya bersifat kasuistis. Lemahnya koordinasi dengan simpul daerah, juga masih dijumpai dalam riset tersebut.

Kebutuhan untuk meningkatkan peran dari institusi parlemen, terungkap kembali dalam Dalam presentasi Muh Hanif Dhakiri pada Lokakarya penyusunan instrumen yang dilakukan oleh LSPP 6-8 okt 2005. Menurutnya, instrumen pemantauan haruslah merumuskan cara yang lebih berbasis pada kebutuhan politisi. Tuntutan pada penggunaan instrumen pemantauan umumnya adalah instrumen yang dipakai harus benar-benar terukur, mudah diterapkan dan bisa dipahami oleh masyarakat. Karena itu titik tolak pemantauan adalah pertama, pada fakta institusinya termasuk pemahaman akan mekanisme kerja parlemen. Kedua, menetapkan strategi dan prosesnya. Dari fakta institusi dan kinerja, sebenarnya kita bisa mencari strategi tertentu untuk mendorong agar DPR lebih optimal.

Jakarta, Nopember 2005

Membangun Indikator Pemantauan Publik atas Wakil Rakyat



Oleh : Benjamin Tukan


TIDAK terasa DPR periode 2004-2009 kini telah menjalankan fungsi-fungsi kedewanan selama setahuan. Menariknya, bahwa parlemen hasil pemilihan umum 2004 ini, semula membawa optimisme akan perubahan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya, namun apa yang terjadi selama setahun ini rupanya dapat dikatakan bahwa perubahan itu belum maksimal dan belum pula memuaskan. Publik masih perlu menyimpan harapan untuk selanjutnya memikirkan perubahan -pembaruhan untuk menyatukan harapan bersama mengenai peningkatan kinerja DPR.

Lepas dari begitu banyaknya harapan akan perubahan kinerja DPR pada tahun kedua yang dimulai dari masa sidang III kali ini, satu hal yang perlu dipikirkan bersama adalah penyempurnaan pada sistem internal kerja DPR dengan lebih menitik beratkan pada berbagai indikator kinerja.

DALAM program kerja Pemantauan DPR yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), telah dicapai beberapa indikator kinerja DPR yang meliputi akuntabilitas, aktivitas aktor dan institusi, transparansi, pengaruh, partisipasi dan keterwakilan. Keenam indikator ini akan diuraikan dibawah ini.


1.AKTIVITAS AKTOR DAN INSTITUSI

Indikator aktivitas aktor dan institusi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat berhubungan dengan tugas dan fungsi parlemen yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Aktivitas aktor dan institusi menunjukan keseluruhan dinamika kerja dari DPR. Hanya dengan dan dalam aktivitas, sebuah output bisa memperoleh hasil yang maksimal.

Berdasarkan pengertian di atas, sebuah aktivitas aktor dan istitusi dalam kerja DPR setidaknya dapat dilihat dari beberapa hal penting. Pertama, tingkat kehadiran kehadiran anggota dalam rapat-rapat DPR berdasarkan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Pada tingkat kehadiran ini hal yang perlu diperluas adalah dengan melihat apakah rapat-rapat yang diselenggarakan memang benar-benar terlakasana dengan kuorum bahkan lebih dari itu apakah rapat-rapat itu dimulai dan diakhiri tepat waktu.

Jika mengacu pada proses yang selama ini berjalan, maka perhatian pada tema-tema aktivitas ini sangat terkait juga dengan tingkat kedisiplinan dan kesadaran anggota menyelesaikan berbagai tugas. Bukan tidak mungkin rapat-rapat yang diselenggarakan sering tidak kuorum bahkan penentuan jadwal-pun sering dilanggar dengan cara memindahkan waktu rapat yang direncanakan dan sering pula berpengaruh pada berubahnya agenda-agenda rapat.

Pada tingkat aktor, kehadiran dalam rapat sering mendapat perhatian publik, karena banyak juga dari anggota DPR yang tingkat kesadaran untuk mengikuti rapat masih jauh dari harapan. Seringnya penjadwalan rapat-rapat yang deselenggarakan dalam waktu yang bersamaan yang menyebabkan terbaginya perhatian para anggota menjadi tidak terarah, juga kenyataan bahwa sering anggota meninggalkan rapat atau tidak hadir karena alasan ijin. Pada tingkat yang lain, mengikuti rapat secara aktiv juga tidak selalu mencerminkan suatu kesadaran dan kepekaan anggota, karena dalam dinamika peridangan masih juga ditemukan kemungkinan kehadiran fisik semata tanpa keinginan untuk merespon atau terlibat aktiv pada hal-hal yang dibicarakan. Kesan yang sering muncul bahwa para anggota dalam rapat sering dijumpai sedang tertidur atau lebih aktiv mengirim pesan singkat melalui handphone atau sering keluar masuk sidang hanya untuk menelpon.

2.AKUNTABILITAS

Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawabab institusi dan aktor atas apa yang dikerjakan kepada publik. Kinerja pada indikator akuntabilitas ini memang sering diucapkan namun masih jauh dari harapan.

Terkait dengan akuntabilitas, maka hal yang penting diperhatikan adalah berapa banyak waktu yang dipergunakan oleh seorang anggota untuk melakukan kunjungan kerja perseorangan? Dan berapa banyak anggota yang dalam setiap permasalahan yang sedang dibahas di DPR dibawa ke konstituennya? Berapa banyak anggota yang membuat laporan bagi konstituennya terhadap hasil kegiatannya selama rapat di alat kelengkapan?

Memang kalau diperhatikan maka, soal-soal ini masih perlu diperhatikan lantaran sampai kini, belum jelas bentuk laporan pertanggungjawaban DPR terutama dengan masalah kunjungan kerja tersebut. Menariknya, bahwa kenaikan tunjangan yang sempat ramai dengan alasan bahwa untuk kunjungan kerja tidak diserttai dengan laporan kinerja terutama yang menyangkut kunjungan kerja.

3.TRANSPARANSI

Terkait dengan akuntablitas, maka persoalan transparansi tidak mungkin dihindarkan dalam penilaian atas kinerja DPR. Sudah merupakan pengetahuan bersama bahwa sebuah rapat yang terbuka akan menununjukan sejauh mana tingkat transparasi anggota terhadap publik. Kerja dpr terbuka untuk umum dan kemudahan dalam akses informasi public terhadap seluruh dokumen, risalah & setiap mekanisme dalam pertemuan

Apakah rapat kerja alat kelengkapan diadakan secara terbuka? Ini pertanyaan yang sering muncul ketika tuntutan transparansi menjadi hal yang inheren dalam kegiatan DPR. Belum terlalu jauh melihat apakah sebuah rapat dinyatakan terbuka, problem transparansipun sering berhadapan dengan kemudahan akses masyarakat terhadap rapat sekalipun rapat itu dinyatakan secara terbuka. Berapa kali DPR memberikan akses materi yang akan dibahas dalam persidangan ke publik Apakah DPR selalu memberi akses materi yang sedang dibahas dalam persidangan ke publik? Pertanyaan ini mengandung makna bahwa semakin sering rapat diadakan secara terbuka semakin baik tingkat transparansi kinerja DPR.

Sekalipun dalam ranah pemberitaan media selalu tersirat kepentingan media dalam pemberitaan, namun dalam hal transparansi ini perlu juga menempatkan akses media terhadap kerja-kerja di DPR. Pertanyaan yang relevan tentu saja berhubungan dengan apakah rapat-rapat yang diselenggarakan dinyatakan ke publik lewat media massa?

4.PENGARUH

Tidak semua hal yang dikerjakan oleh DPR berpengruh pada kebijakan yang dilakukan pemerintah. Padahal sebagai wakil rakyat, diharapakan usulan-usulannya dapat membatasi ruang gerak dari pemerintah, minimal berpengaruh pada penundaan sebuah kebijakan ataupun memasukan usulan-usulan dalam sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah. Indikator ini layak diajukan sebab sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR diharapkan dapat mengambil peran menyalurkan aspirasi dari masyarakat.

Karena itu, terkait dengan indikator pengaruh ini, pertayaan yang layak diajukan adalah Berapa kali terdapat perubahan materi rapat atas usulan anggota DPR? Apakah DPR menindaklanjuti permasalahan dalam rapat atau hasil keputusan rapat sebelumnya? Berapa kali DPR menindaklanjuti permasalahan dalam rapat atau hasil keputusan rapat sebelumnya?

Kepekaan DPR juga sangat terlihat inisiatif dalam mengajukan pertanyaan mengenai peraturan atau permasalahan yang sedang dibahas kepada pemerintah ataupun mengenai peraturan atau permasalahan yang sedang dibahas kepada Pemerintah. Maka penting juga dijawab apakah semua usulan DPR tersebut pada gilirannya mengubah kebijakan pemerintah?

5.PARTISIPASI

Partisipasi sangat berhubungan dengan keikutsertaan masyarakat dalam pembahasan-pembahasan di DPR. Sekalipun DPR bisa mengklaim bahwa dirinya mewakili masyarakat, hal ini tidak bisa mengurangi diikutsertakannya masyarakat dalam kegiatan DPR. Justru sebuah output kebijakan akan memiliki tingkat kualitas yang baik, manakalah kebijakan itu mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan itu.

Gagasan partisipasi bukan merupakan hal baru dalam wacana DPR. Bahkan justru persoalan partisipasi ini telah diundangkan dalam UU No. 10/2004. Hanya saja, dalam pelaksanaannya partisipasi ini masih jauh dari apa yang dibutuhkannya.

Terkait dengan indikator partisipasi, pertanyaan seputar rencana/ agenda partisipatif disiapkan dewan, kegiatan dialog sektoral melakukan dialog public loby dan negoisasi dengan kelompok masyarakat Indikator keterwakilan meliputi Kebijakan DPR yang menunjukan keberpihakan pada rakyat Pertemuan kelompok dengan masyrakat terkait pembahasan suatu maslah atau isu. Menindaklanjuti aspirasi rakyat


Penekanan pada pencapaian kinerja berdasarkan indikator yang disebutkan diatas, pada gilirannya adalah memikirkan upaya evaluasi setiap kali mengakhiri sebuah tahapan kerja. Dengan kata lain, pengalaman dan pencapaian yang diperoleh pada tahun sebelumnya harus tetap menjadi acuan untuk memperbaiki kinerja dimaksud.

Benjamin Tukan
Koordinator Program Penyusunan Instrumen Pemantauan DPR.
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
(Artikel dibuat untuk kepentingan terbatas, Jakarta, 2009)

Mengawali Agenda Reformasi Partai Politik


Catatan-Catatan Benjamin Tukan


Pasca 1998, demokrasi Indonesia mulai memasuki babak baru. Dua kebijakan penting yang bisa dicatat sebagai awal dari reformasi politik di Indonesia adalah lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no. 33 tentang partai politik. Dua hal ini tentu beralasan sebagai pertanda adanya perubahan baru lantaran kedua soal ini merupakan agenda soal yang tidak pernah diselesaikan ketika masa orde baru. Sentralisme dan pemberlakukan masa mengambang merupakan cirri dari Negara otritrian orde baru ketika itu. Alhasil dengan diundangkan kedua hal ini, gejala munculnya peran serta masyarakat menjadi diskusi public hingga saat ini.

Sekalipun kedua UU ini dipakai sebagai pertanda sistem politik, namun tentu saja belum merupakan patokan yang final dari pembentukan Negara Indonesia yang demokratis. Maka melalui parlemen hasil pemilu 1999, undang-undang itu semakin disempurnakan bahkan beberapa undang-undang lain yang berkaitan semisal UU Pemilihan Umum, UU Susunan dan kedudukan DPR, DPD, DPRD , UU Mahkamah Konstitusi , UU tentnag Pemilihan presiden turut serta diundangkan. Lebih jauh dari itu parlemen hasil periode 1999-2004 juga telah empat kali melakukan amandemen atas UUD 1945.

Dari sekian banyak perubahan baik yang telah ada maupun yang belum ada, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa politik Indonesia mulai memberi peran yang begitu besar terhadap partai politik. Hampir semua lini kehidupan politik dikembalikan pada peran dari partai politik (partay base). Secara praktis kita bisa menunjukan bahwa dari pencalonan presiden dan wakil presiden dan terakhir pencalonan kepala daerah diserahkan kepada partai politik. Belum lagi kalau DPR DPRD kita andaikan sebagai kelanjutan dari partai politik, maka hampir sulit menemukan bidang mana yang bukan menjadi bagian kerja partai politik. Dalam tingkatan yang lain, bisa disebutkan bahwa kalau dulu negara ditentukan oleh permaianan birokrasi maka sekarang justru peran itu mulai dimainkan oleh partai politik.

Apakah sebuah kekeliruan memberikan peran yang besar terhadap partai politik ? jawaban tentu saja tidak. Sebab, partai politik dimana pun berada dikemas dan dikontruksi sebagai institusi dimana warga negara berkumpul untuk kemauan politiknya. Dengan kata lain, sebenarnya mau mengatakan bahwa dengan memberi peran yang besar kepada partai politik, berarti memberi peran kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam sism politiknya. Semakin institusi partai diberi peran dalam menentukan arah dari politik Indonesia, maka semakin dirasakan bahwa rakyat mendapatkan peran sekaligus ruang untuk menentukan kemana politik Indonesia akan dibawah.

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa pada tingkat implementasi, bisa saja apa yang diharapkan akan kemabali mengukuhkan otoritarianisme negara yang terwakili dalam rana olgarkis partai politik. Dan hal ini, disadari atau tidak gejalanya sedang dipertontnkan dalam beberapa waktu belakangan ini. Berbagai keputusan dan intrik politik yang terjadi diparlemen yang sering kali menjadi sorotan publik, cukup menjadi dasar untuk mempertanyakan sejauh mana peran partai politik minimal dalam komunikasi politik. Belum lagi kalau fenomena politik pada proses rekrutmen pejabat publik, kulaitas dan kemampuan para aktor politik, juga kemampuan institusi untuk memnejemen konflik dan agregasi kepenttingan masih jauh dari harapan yang diberikan pada instusi tersebut.

Beberapa hal yang dikemukakan sebagai sisi gelapnya partai politik di Indonesia pasca 1998 diatas, pada telaan tertentu bisa dibenarkan. Hal tersebut dikarena beberapa alasan diantaranya, pertama, sejarah kelahiran partai politik saat ini umumnya tidak lebih dari usua enam tahun termasuk Partai Golkar, PPP dan PDI Perjuangan sebagai kelanjutan dari PDI , merupakan partai baru baik secara organisasi maupun sebagai arena. Kedua, budaya patronase politik yang masih berakar dalam partai lantaran gagal dalam melakukan reformasi internal partai. Partai politik yang identik dengan figur dan tokoh tertentu yang tidak berhubungan dengan partai politik sering mempunyai posisi tawar yang menentukan jalannya mati hidupnya partai politik. Ketiga, dari sejarah kelahiran partai politik, umumnya merupakan ide atau kemauan dari sekelompok elit yang bermain dipusat-pusat kekuasaan. Akibatnya, sampai saat ini banyak partai yang belum mampu mengkonsolidasikan kiprahnya di tengah masyarakat.

Padahal sudah menjadi kepercayaan bersama, bahwa fungsi dan peran politik harus pula didukung oleh kesiapan kapasitas internal partai dan hubungannya dengan berbagai stakeholdernya. Baik dibaca dalam kerangka pohon industri dimana partai politik merupakan faktor hulu dalam setiap politik di lembaga parlemen di tingkat hilir, maupun kemudian dibaca dalam aspek perubahan sistem politik yang berdasarkan partai politik, hal yang perlu dilakukan adalah mulai memikirkan aspek penguatan instutusi partai politik sebagai jalan menuju suatu representasi politik.

Ada dua soal, yang perlu dilakukan kajian dalam pemetaan ini. Pertama, adalah aspek regulasi yang mengatur peran partai politik baik secara langsung mapun tidak langsung dalam sistem politik. Pemetaan pada aspek ini dirasakan penting karena akan memberi gambaran mengenai area intervensi partai politik. Dengan mengetahui area intervensi ini, akan muncul lagi siapa-siapa stakholder dan kelompok kepentingan yang dapat dipakai untuk suatu sinergitas. Bagaimana sinergitas antar kepentingan akan dibicarakan setelah memetakan peluang dan hambatan. Secara khusus dalam kajian terhadap aspek regulasi ini juga memperhatikan regulasi yang berhubungan langsung dengan pengaturan internal partai semisal UU tentang partai politik.

Kedua, melakukan kajian tentang partai politik sebagai organisasi. Khusus pada kajian ini hal yang akan disoroti adalah sejauhmana kesiapan organisasi dalam merespon tuntutan yang ada diarea intervensi di atas. Jiika fungsi partai politik yang dikenal umum semisal, agregasi kepentingan , komunikasi politik, kaderisasi, maka sejauh mana fungsi-fungsi itu beroperasi dalam suatu dinamika organisasi partai politik. Hal yang sama juga berlaku pada fenomena perpecahan di internal partai untuk melihat aspek manajemen konflik dalam partai. Masih berkaitan dengan aspek organisasi, maka hal perlu dilihat adalah hubungan antara partai politik dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat atau sebaliknya. Diharapkan dari pemetaan ini akan memperoleh gambaran utuh menyangkut akar persoalan dalam partai politik untuk kemudian dibuat semacam rekomendasi untuk penguatan kapasitas institusi partai politik.

(Tulisan ini dibuat untuk keperluan terbatas. Tahun Tulis 2006)