Pilkada: kemarin dan yang akan datang


Oleh : Benjamin Tukan

SUATU eksperimen, katakan saja begitu, yang dilakukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin daerah-nya melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, sudah diuji-cobakan di beberapa dearah sejak Juni hingga Agustus 2005. Beberapa daerah lain memang belum melaksanakan Pilkada karena masih menunggu ”tanggal jatuh tempo” berahirnya masa jabatan kepala daerah.

Mencermati pelaksanaan Pilkada, nampak beberapa hal yang krusial perlu harus dijadikan catatan sebagai acuan baik untuk penyempurnaan regulasi maupun perbaikan pelaksanaan pilkada kedepan. Khusus untuk daerah yang telah melaksanakan pilkada dan telah mendapatkan pemimpin daerah defenitif, tentu saja evaluasi semacam ini dipandang penting, sebagai langkah untuk mempersiapkan kontrol terhadap jalannya sebuah pemerintahan daerah hasil pilkada. Sedangkan untuk daerah yang akan melangsungkan pilkada, evaluasi yang terjadi di daerah lain, kiranya dapat dijadikan masukan untuk selalu memperbaiki pelaksanaan pilkada.

Kalau kita menyimak pelaksanaan pilkada berdasarkan UU No. 32/ 2004 nampak bahwa Pilkada diselenggarakan secara seragam paling kurang dalam prosedure dan tata cara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya di beberapa daerah kepada kita disodorkan berbagai kekhususan-nya sendiri-sendiri karena berbedanya dinamika politik, karakter pemilih dan cara-cara penyelesaian masalah. Argumentasi semacam ini perlu dikemukakan diawal tulisan ini agar dalam menilai pilkada secara keseluruhan kita tidak mudah terjebak dalam kesimpulan yang bersifat hitam putih.

Atau dengan lain kata, kita tidak bisa dipaksakan untuk menerima optimisme pilkada yang terjadi di beberapa tempat lain untuk diterapkan ditempat yang lain lagi. Sebaliknya, pesimisme pilkada yang dialami karena berbagai kecurangan atau bahkan fenomena calon kepala daerah terpilih yang yang tidak dikenal track recordnya secara memadai, misalnya, tidak lantas membuat kita menyimpulkan bahwa semua pilkada yang berlangsung gagal pada tingkat pelaksanaannya. Karena itu, tulisan inipun sekalipun ingin memotret pilkada secara keseluruhan, tetapi tetap saja selalu terbuka pada perbedaan konteks lokal yang bisa saja tidak terakum dengan baik dalam tulisan ini.

***
JIKA kita kembali mengingat perdebatan dalam penyusunan UU Pemerintahan Daerah No. 32 /2004 khususnya pasal-pasal yang mengatur soal Pilkada, maka salah satu persoalan yang penting adalah tidak terakomodirnya Pilkada sebagai bagian dari suatu pemilihan umum. Indikasi dapat terlihat dari disisihkannya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai satu-satunya penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan dan mandiri seperti yang diamanatkan konstitusi. Sekalipun dalam pelaksanaannya, perumus UU tersebut pemerintah dan DPR masih melibatkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), namun tetap saja pelibatan semacam ini dipandang sebagai hanya persoalan teknis yang tidak menjawabi kebutuhan penyelenggara pemilu yang mandiri, tetap dan bersifat nasional.

Apa konsekuensinya? Pertama, dalam pelaksanaan pilkada oleh beberapa KPUD dipandang sebagai hal baru yang berbeda dengan pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Padahal, investasi sumber daya baik peralatan dan keahlihan sudah banyak dikeluarkan sejak pemilu legislatif 2004. Menjadikan pilkada sebagai hal yang sama sekali baru menyebabkan proses pembelajaranpun oleh KPUD menjadi kebutuhan yang penting menjelang pilkada. Fatalnya, tidak tersedia cukup waktu untuk proses pembelajaran itu.

Kedua, karena Pilkada tidak melibatkan KPU secara nasional, maka beberapa regulasi tambahan tentang pilkada yang diterbitkan oleh Mendagri, Menpen, Kepala BKN cendrung membingungkan KPUD. Bahkan cendrung mengaburkan daripada memperjelas amanat UU, Perpu dan PP tentang Pilkada. Regulasi yang dikeluarkan inipun cendrung tidak memperhitungkan implikasi teknis implementasi dari pengaturan tersebut bahkan masih dimungkinkan kewenangan yang tumpang tindih. Peran Desk Pilkada Daerah, misalnya, terkesan cendrung membuat keputusan menjadi lamban, mubasir dan menghambat kerja KPUD. Di sini-pun menjadi masalah pada posisi dan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan pilkada.

Ketiga, kesimpangsiuran kewenangan seperti disebutkan diatas, di beberapa daerah dan beberapa kasus menyebabkan KPUD sangat rentan memainkan peran meminimalkan kemandiriannya. Dapat saja, berbagai kelemahan pada aturan dijadikan pembenaran untuk melakukan pemihakan pada kandidat tertentu. Atau dengan lain kata kekilafan yang dilakukan KPUD adalah satu soal tidak terhindarkan.

***

DALAM pelaksanaan pilkada, beberapa soal yang menyangkut dengan manajemen pilkada bisa dicatat diantaranya, pertama, pendataan dan pemutakhiran data pemilih sebagai salah satu tahap pelaksanaan pilkada pada umumnya berlangsung agak kacau. Masalah ini hampir dialami di semua daerah yang melangsungkan pilkada Juni hingga Agustus. Ada persoalan teknis administrasi yaitu perbedaan data dari yang dibutuhkan KPUD dengan data yang dosodorkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Ketidakberesan ini adalah sumber munculnya pelanggaran seperti, banyaknya anggota masyarakat yang tidak terdaftar, tidak memperoleh kartu pemilih atau beredarnya kartu pemilih siluman yang dibenarkan oleh KPPS setempat untuk melakukan pencoblosan.

Kedua, sosialisasi yang minim dan ketiadaan akses informasi. Depdagri dalam berbagai kesempatan selalu mengklaim bahwa Pilkada yang dilaksanakan di 173 Daerah memiliki tingkat partisipasi sementara rata-rata 73,32% ; yang terendah Kota Surabaya 49,64% dan tertinggi Kabupaten Pegunungan Bintang (prov Papua) 99,79%. Angka 73,32% adalah angka yang tinggi. Namun hal yang tidak pernah dijawab secara memadai adalah apakah tingkat partisipasi itu dikarenakan oleh kesadaran politik warga, mobilisasi ataukah karena berhasilnya sosialisasi. Dari sekian persoalan yang muncul pasca pilkada bahwa minimnya sosialisasi menyebabkan banyaknnya masyarakat yang tidak mendapatkan kartu pemilih, atau tidak tahu prosedure dan waktu dari pilkada itu berlangsung.

Terkait dengan akses informasi haruslah diakui tidak adanya aturan yang baku dan terperinci menyangkut kewajiban KPUD, pemerintah, partai politik dan tim sukses kandidat untuk memberikan informasi menyebabkan beragam pula penerapan di lapangan. Beberapa anggota KPUD sangat terbuka untuk memberikan informasi, tetapi tidak sedikit KPUD yang menutup-nutupi informasi dengan alasan rahasia negara, atau demi menjaga privasi kandidat. Padahal informasi mengenai kandidat misalnya, sangat penting untuk pemilih menentukan kandidat mana yang akan dipilih. Pemilih bisa saja salah memilih bila kepadanya diberikan informasi yang keliru atau informasi yang seadanya. Ketertupan informasi ternyata tidak hanya membawa kerugian pada calon yang gagal dalam seleksi tapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.

Ketiga, pencalonan oleh partai politik yang terkesan elitis. Tidak terakomodirnya calon independen dalam regulasi pilkada, menjadikan partai politik satu satunya pintu masuk bagi kandidat. Karena partai politik merupakan satu satunya pintu masuk ditambah dengan ketidaksiapan pengurus partai dan orientasi jangka pendek, umumnya partai politik menempuh cara dengan memberikan tarif bagi kandidat pun juga seleksi kandidat yang terkesan sangat elitis. Padahal, jika para pengurus partai sedikit berorentasi jangka panjang, kesempatan memperbaiki representasi politik, dan komunikasi politik dengan konsistuen adalah hal yang paling berharga untuk menciptakan investasi politik jangka panjang. Banyak kader partai, begitupun politisi dan tokoh masyarakat lokal terpental begitu saja karena ketiadaan dana atau terlalu lugu memainkan iming-iming politik dan politik pencitraan.

Masih terkait dengan partai politik, pilkada Juni-Agustus juga diwarnai dengan pencalonan ganda akibat dari kepengurusan ganda di internal partai. Otonomi partai politik di tingkat lokalpun masih harus dibenahi lagi, mengingat berbagai keputusan politik yang dirasakan telah memadai dan demokratis begitu saja dianulir pada tingkat partai yang lebih tinggi.

Keempat, minimnya waktu kampanye. Sekalipun aturan Pilkada memberikan jangka waktu untuk kampanye kurang lebih tiga minggu, namun waktu yang demikian selalu dipandang sebagai waktu yang pendek. Karena itu, jauh sebelum waktu kampanye, beberapa kandidat telah melakukan kampanye terselubung baik melalui seminar, temu kader, pelantikan-pelatikan, pemberian sumbangan hingga deklarasi yang dibuat semeriah mungkin. Hal yang sama terjadi pada masa tentang dimana beberapa media lokal masih juga memuat iklan dan advetorial untuk memilih salah satu kandidat. Masalahnya, justru pada aturan tentang pengaturan kampanye yang tidak detil tentang kegiatan di luar waktu kampanye dan sebuah kebiasaan umum dari aktor politik untuk memainkan intrik politik ditengah aturan yang tidak memadai.

Masih terkait dengan kampanye, program dan janji kampanye kandidat umumnya mengangkat persoalan riil di masyarakat. Keberpihakan pada kelompok perempuan dan anak-anak, pendidkan dan kesehatan gratis, pelayanan publik hingga alokasi dana untuk pembangunan pedesaan adalah janji dan program kampanye yang dijumpai disetiap wilayah. Kendati demikian, kecendrungan membawa sentimen kewilayaan, subkultur, subetnis maupun agama dan semacamnya tetap menjadi pertaruhan mati-matian para kandidat. Nampak bahwa sentiman primordial yang dimanfaatkan oleh pemimpin yang kurang bijak untuk memuluskan kepentingan sesaatnya, justru masih lebih penting dari visi, misi dan program kandidat.

Kelima, permasalahan pasca pilkada dan penyelesaian sangketa Pilkada. Minimnya waktu penyelesaian sangketa pilkada dan kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sangketa pilkada, menyebabkan penyelesaian sangketa pilkada terkesan terburu-buru dan cendrung menutupi berbagai pelanggaran-pelanggaran lain dalam Pilkada.

***
SECARA umum hasil-hasli pilkada menandakan antusiasime masyarakat dan para pemimpin di daerah. Tapi dari beberapa catatan diatas, pilkada masih harus membutuhkan beberapa penyempurnaan baik dari segi kualitas prosedure rekrutmen kandidat, pemilihan dan perbaikan institusi pendukung pilkada. Penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang pilkada adalah hal yang harus diagendakan. Perubahan undang-undang itu diataranya, menjadikan pilkada sebagai suatu pemilihan umum dibawa kewenangan KPU. Karena itu perlu dibuat UU tersendiri atau digabungkan saja dengan UU pemilu legislatif dan Presiden. Kemudian beberapa hal yang menyangkut calon independen, akses informasi, penghapusan masa kampanye dan pengaturan yang tegas tentang masa tenang adalah hal-hal lain yang perlu diakomodir lagi dalam UU tersebut.

Kendati demikian, jika kita masih berpatokan pada UU yang ada sekarang, maka beberapa hal penting harus menjadi perhatian. Pertama, lembaga penyelenggara harus memastikan adanya sosialisasi dan terbukanya akses informasi. Kedua, perlu memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak membawa resiko yang besar dikemudian hari. Ini artinya bahwa pemerintah, DPRD , KPUD dan Panwasli setempat harus meyakinkan bahwa proses pilkada telah dilalui dengan benar dengan jaminan bahwa semua warga yang memenuhi persyaratan memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pilkada. Jika dalam pelaksanaan pilkada ternyata masih ditemukan ketidaksiapan, maka jangan ragu-ragu mengusulkan penudaan pilkada.

Terlepas dari semuanya, pilkada telah memberikan arah baru bagi format politik lokal. Dengan adanya Pilkada para pemimpin daerah dituntut lebih terbuka, dan lebih tanggap kepada masyarakat. Orientasi mestinya diarahkan pada tuntutan jangka panjang untuk mewujudkan demokrasi yang dinamik di Indonesia dan bukan hanya sekedar meraih kekuasaan semata. Kalau hanya sekedar memilih asal bukan ini dan bukan itu, maka kita akan melahirkan pemimpin yang bukan-bukan. Selanjutnya, pilkada harus dipandang sebagai hal yang biasa agar tidak terlalu banyak menyedot beban masyarakat.

Benjamin Tukan, Peneliti LSPP. Jakarta

(Artikel ini pernah dikirim ke Pos Kupang,9 September 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar