MENGATASI KETIDAKHADIRAN ANGGOTA DPR

Diposkan Oleh Benjamin Tukan
Dari Diskusi yang dilakukan LSPP 23 Mei 2006

Indikator paling sederhana untuk menilai aktivitas kinerja DPR adalah tingkat kehadiran para anggota secara fisik dalam rapat-rapat di DPR. Meskipun menurut beberapa pihak menilai kinerja berdasar tingkat kehadiran sudah dianggap tidak penting, tapi setidaknya kehadiran merupakan komitmen dasar yang mesti dipenuhi oleh anggota DPR. Bukti bahwa kehadiran merupakan satu hal penting yang mesti dipenuhi oleh anggota DPR adalah masih tetap dipertahankannya mekanisme kuorum sebagaimana tertuang dalam Tata Tertib.

Ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab tingkat kehadiran anggota masih rendah dalam rapat-rapat alat kelengkapan. Pertama, pengagendaan yang kurang jelas yang kemudian mengakibatkan terjadi conflict schedule. Kedua, banyak anggota yang menganggap ketidakhadiran merupakan sesuatu yang tidak penting dari segi insentif. Ketiga, anggota Dewan tidak menganggap suaranya tidak punya kekuatan apa-apa karena kekuatan itu justru berada di fraksi. Sehingga buat apa mengikuti rapat dan kemudian menyampaikan gagasan jika kemudian dalam waktu sekejap akan menjadi sampah belaka hanya karena fraksinya tidak sepakat dengan gagasannya itu. Keempat, penyebab kurangnya tingkat kehadiran anggota terutama dalam rapat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) adalah karena rapat ini dianggap sebagai ajang komitmen antara mereka dengan publik

Namun sebenarnya ada beberapa hal yang bisa ditinjau kembali guna meningkatkan tingkat kehadiran anggota dalam rapat. Pertama, upaya perbaikan penentuan komisi (commisioning). Sistem pembagian komisi di DPR kita terlalu banyak anggota dan terlalu banyak pula beban pekerjaan yang ditanggung. Mestinya bisa saja dibagi per subkomisi untuk membahas persoalan yang sifatnya lebih fokus. Dengan sistem sub komisi ini secara otomatis anggotanya tidak terlalu gemuk. Ini perlu untuk mensiasati syarat kuorum yang terlalu tinggi.

Kedua, perlu ada sinergi antara DPR dengan Sekretariat Jenderal (Setjen). Ini perlu agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami agenda rapat, karena yang melakukan penjadwalan adalah Setjen. Jika terjadi sinergi, bukan saja dalam soal pengagendaan jadwal sidang tapi dalam mengatasi persoalan-persoalan lain pun bisa berjalan secara maksimal.

Selain itu perlu kiranya dibuat semacam sistem yang memungkinkan masyarakat menjadi tahu tentang aktivitas mereka di DPR. Misalnya dengan merekam semua rapat-rapat mereka kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui jaringan monitor, atau bahkan jaringan televisi. Dari rekaman itulah kemudian masyarakat bisa melihat secara langsung apa saja yang mereka kerjakan di ruang rapat.

Pemantauan yang dilakukan oleh LSPP selama Masa Sidang II Tahun Sidang II sejak bulan Maret sampai dengan Maret 2006 telah berhasil mengumpulkan sejumlah angka maupun prosentase yang memperlihatkan tingkat kehadiran anggota DPR tersebut. Angka maupun prosentase tersebut didapat dari pemantauan yang dilakukan oleh 15 orang pemantau yang sehari-harinya “berkantor” di gedung DPR.

Selain memperlihatkan tingkat kehadiran anggota DPR, pemantauan ini juga berhasil memperlihatkan bahwa tingkat kehadiran selalu menjadi alasan ditundanya suatu rapat. Hal ini bisa dinalar karena jika anggota rapat yang hadir tidak memenuhi kuorum (dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah anggota rapat dan lebih dari setengah jumlah Fraksi), maka rapat tidak akan dapat dilaksanakan.

Tidak hanya memperlihatkan angka-angka, pemantauan ini juga memperlihatkan alasan ketidakhadiran para anggota DPR. Bahkan, yang lebih “mengagetkan” adalah bahwa seringkali rapat dimulai tanpa kuorum yang sesungguhnya, karena ternyata anggota DPR yang tidak hadir namun ijin karena berbagai alasan tetap diperhitungkan sebagai hadir. Padahal, jika dikaitkan dengan Kode Etik DPR, sesungguhnya kehadiran anggota yang dimaksud dalam rapat-rapat DPR adalah kehadiran fisik, bukan hanya tanda tangan atau bahkan sebuah surat ijin karena berbagai alasan.

Pemantauan kali ini juga berhasil mencatat beberapa perilaku para anggota DPR yang menunjukkan “tingkat keseriusan” para anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tingkat keseriusan itu ditandai dengan serig tidaknya anggota keluar masuk ruang sidang selama rapat berlangsung selama lebih dari 15 menit (asumsinya kalau kurang dari 15 menit, kegiatan keluar ruang sidang hanya untuk menjalankan aktivitas biologis yaitu buang air) atau bahkan tertidur. Bahkan sempat juga direkam frekuensi anggota yang bertelepon atau ber-sms ria di ruang sidang. Namun, pada akhirnya pemantauan terhadap hal ini kami batalkan mengingat ada kemungkinan telepon atau sms yang dilakukan masih terkait dengan pembicaraan yang sedang dibicarakan, sehingga tidak relevan jika hal tersebut dianggap sebagi indikator ketidakseriusan anggota DPR menghadapi rapat-rapatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar