Komisi, Forum DPRD dan Koalisi LSM Anti KKN ?


Oleh : Benjamin Tukan

TULISAN Thomas Todo Tokan berjudul “ Komisi Anti-KKN DPRD di Harian ini (27 Pebruari 2005) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Gagasannya untuk menciptakan wajah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme melalui bangunan institusi yang diisi oleh berbagai kalangan yang konsern dengan persoalan Anti KKN, menggugah kesadaran kita bersama untuk memikirkan arah baru dari suatu gerakan anti KKN.

Memang kalau disimak dari tulisan Thomas Todo Tokan, muncul kesan, ada dua lembaga yang ia dibayangkan. Lembaga pertama adalah lembaga yang dibentuk oleh DPRD sebagai bagian dari salah satu komisi di DPRD. Lembaga kedua adalah lembaga yang merupakan gabungan dari berbagai macam LSM di NTT yang punya kepedulian terhadap gerakan pemberantasan KKN. Untuk lembaga pertama, ia menyebutkan sebagai Komisi Anti KKN DPRD dan untuk yang kedua disebutkan NTT Corruption Watch. Selanjutnya, dalam uraian di artikel itu, ia juga menyebutkan jika tidak ada payung hukum sebagai dasar pembentukan Seksi Anti KKN (yang dimaksudkan adalah Komisi Anti KKN DPRD), maka cukuplah dengan komitmen moral relawan anggota dewan. Jadi menurut saya ada satu lembaga lagi yang dimaksudkan adalah relawan anggota dewan untuk pemberantasan KKN.

Dengan segala keterbatasan saya untuk menyimak tulisan itu dan beberapa argumentasi yang tidak saya pahami, saya berpendapat bahwa pikiran untuk melembagakan gerakan anti KKN adalah pikiran yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu, saya memilih untuk memetakan tiga lembaga yang saya pahami, karena dipicu oleh artikel itu. Ketiga lembaga itu adalah, Komisi Anti KKN, Forum Anggota DPRD Anti KKN dan Koalisi LSM anti KKN. Terpaksa saya tidak memilih untuk mengomentari Komisi Anti KKN DPRD seperti yang dimaksudkannya, karena keterbatasan waktu untuk melihat dan mengevaluasi efektivitas kelembagaan DPRD dan kerangka legal yang mengaturnya.

Memang, gagasan untuk membentuk beberapa lembaga yang konsern terhadap pemberantasan KKN merupakan pikiran-pikiran lepas yang kini sedang dibicarakan banyak kalangan termasuk beberapa organisasi masyarakat di NTT. Sejauh yang saya ketahui, ide tersebut di beberapa tempat misalnya di Padang, NTB dan Sulawesi Tenggara sudah mulai ada pembicaraan bersama antara LSM dengan anggota DPRD. Di tingkat nasional, Dewan Perwakilian Daerah (DPD) dalam waktu dekat akan membentuk Kaukus Anti Korupsi, dan beberapa anggota DPR RI saat ini pun sedang memikirkan untuk membentuk semacam kaukus atau forum untuk reformasi tata pemerintahan termasuk reformasi kelembagaan DPR.



Komisi Anti KKN

SECARA sederhana, Komisi Anti KKN dalam pemahaman saya lebih dimaksudkan sebagai sebuah lembaga independen yang beranggotakan berbagai kalangan yang memiliki integritas dan perhatian pada persoalan anti korupsi. Komisi ini mempunyai kewenangan khusus dalam upaya pemberantasan KKN dan tentu memiliki sekretariat yang tetap.

Kalau sedikit menyimak kelahiran beberapa komisi baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, umumnya badan-badan semacam ini lahir dari sebuah perangkat peraturan berupa Undang-Undang (UU) untuk tingkat nasional atau Peraturan Daerah (Perda) untuk tingkat lokal. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebagian contoh dari komisi-komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada tingkat lokal, bisa diambil contoh, Komisi Informasi Kota Kendari yang dibentuk dari Perda Kota Kendari nomor 14 Tahun 2003, tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.

Kalau memang komisi dibentuk berdasarkan UU/Perda, maka jelas bahwa pembentukan sebuah komisi bisa terjadi kapan saja, kecuali DPR/DPRD telah menetapkan prioritas pembahasan UU/Perda dalam suatu masa sidang tertentu. Artinya, dalam masa sidang berikutnya (tidak mesti harus sampai berakhirnya sebuah masa jabatan DPR/DPRD), UU/Perda tersebut mempunyai kemungkinan besar untuk dibahas sekaligus disahkan.

Dalam bayangan saya, Komisi Anti KKN akan berfungsi mengkawal pelaksanaan Perda Anti KKN. Ini berarti perlu dirumuskan terlebih dahulu apa isi dari Perda Anti KKN. Kendati demikian, perlu ditegaskan bahwa membuat Perda Anti KKN tanpa menugaskan suatu komisi untuk menidaklanjuti, sepertinya kita hanya menambah daftar menu untuk lembaga pengeggak hukum termasuk pemerintah, sambil kemudian kita mengetahui dimana menu yang tidak dipilih karena tidak sesuai salera.

Secara praktis mudah dibayangkan bahwa kerja dari komisi ini barangkali akan melakukan pemantauan dari pelaksanaan tender proyek, pembelanjaan-pembelajaan daerah, penerimaan pegawai negeri dan hal lain yang menyangkut kemungkinan adanya persoalan KKN. Karena itu, sekalipun seluruh biaya operasional komisi menjadi bagian dari anggaran APBD, kehadiran komisi tetap saja memiliki arti penting terutama mengurangi pembelanjaan daerah yang tidak perlu.

Ada beberapa soal penting yang perlu mendapat perhatian dari pembentukan lembaga semacam ini diantaranya, Pertama, soal payung atau referensi undang-undang yang dipakai termasuk kewenangan dari komisi tersebut. Ini persoalan tata peraturan perundang-undangan yang harus dijelaskan oleh para ahli hukum kita. Akan tetapi , suatu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terjadi tumpang tindih kewenangan. Bahwa pembentukan komisi dikarenakan tidak efektifnya lembaga yang ada, tentu semua kita memaklumi. Namun, sejauh mana ketidak-efektifannya, tentu perlu studi dan pemetaan yang tidak kalah pentingnya. Tanpa mengabaikan tekanan yang dilakukan selama ini terhadap lembaga peneggak hukum, perlu disadari juga bahwa kita sering membuat macam –macam peraturan termasuk komisi ini dan komisi itu, tapi efektifitas kerja dari lembaga-lembaga itu tidak banyak dievaluasi secara baik.

Kedua, menyangkut struktur pimpinan, keanggotaan dan sekretariat. Kalau kita memperhatikan keluhan yang terlontar selama ini tentang efektivitas lembaga, maka banyak yang mempersoalkan tentang orang atau siapa-siapa yang menduduki lembaga tersebut. Karena itu, persoalan ini jangan pernah diabaikan. Siapa yang berhak menjadi anggota, bagaimana proses seleksi dan mekanisme pemilihan pimpinan misalnya, adalah soal-soal yang perlu dibayangkan dari sekarang. Termasuk disini adalah berapa anggaran yang dibutuhkan untuk operasionalnya. Jangan lagi ada kesan komisi tidak bekerja karena tidak ada dana.

Ketiga, soal mekanisme pengajuan Perda. Sekalipun wakil rakyat mempunyai wewenang untuk membuat perda, namun hanya berharap pada inisiatip anggota dewan adalah sesuatu yang jarang terjadi. Hal tersebut, selain kesibukan yang melingkupi kerja para dewan, para dewan-pun ditumpahi dengan berbagai persoalan yang semuanya menuntut diprioritaskan. Karena itu organisasi masyarakat sipil harus lebih proaktif melakukan lobi politik untuk membantu para legislator memahami persoalan yang sesungguhnya.

Seperti umumnya advokasi yang dilakukan terhadap sebuah UU ataupun Perda, pengajuan Perda Anti KKN membutuhkan kerja ekstra dari masyarakat. Pemahaman mengenai situasi lapangan, termasuk konstelasi politik di lembaga dewan adalah faktor yang tidak bisa diabaikan. Sebagai masyarakat sipil dalam sistem demokrasi perwakilan tentu hanya punya satu wewenang yaitu memilih anggota DPR/DPRD melalui pemilu. Wewenang yang lain ada di tangan wakil rakyat. Masyarakat tidak punya hak untuk memutuskan. Jadi sebagai warga negara yang diwakili masih ada dua tugas: pertama, meyakinkan atau mewujudkan apa yang menjadi usulan warga Negara yang dilakukan seperti mengajukan draft legislasi; dan kedua, untuk menekan/pressure.

Forum Anggota DPRD Anti KKN

LALU apa itu Forum Anggota DPRD Anti KKN ? Forum ini lebih dimaksudkan sebagai lembaga informal yang anggotanya terdiri dari anggota DPRD lintas fraksi dan juga lintas komisi yang konsern pada upaya pemberantasan KKN. Mungkin forum ini lebih dimaksudkan sebagai forum yang dibentuk berdasarkan komitmen moral.

Forum-forum informal dengan perhatian khusus yang dibentuk oleh anggota dewan ( tidak saja issu anti KKN), di badan legislative adalah hal yang biasa dan bukan hal yang baru apalagi sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan. Walaupun namanya bisa bermacam-macam, kaukus ataupun forum, para anggota dewan ini berinisiatip untuk melakukan pertemuan-pertemuan secara rutin tentang suatu topik untuk memberi semacam perpektif dalam kerja-kerja legislative mereka. Di DPR RI beberapa forum memang sudah terbentuk dan mempunyai sistem kerja yang bisa diukur. Kita bisa mengambil contoh dua forum yaitu, Forum Parlemen untuk Kependudukan dan Kaukus Perempuan Parlemen.

Kembali pada soal gerakan pemberatasan KKN, gagasan agar DPR/DPRD membentuk sebuah forum merupakan pilihan yang sangat tepat. Mengapa? Karena konsep atau gerakan anti KKN sesungguhnya harus inheren dengan fungsi dan wewenang DPR / DPRD baik dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi kontrol dan fungsi anggaran. Forum lebih dipandang sebagai fungsi pendukung bagi para anggota dewan agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Namun, demikian, beberapa hal perlu dipikirkan sebelum pembentukan forum tersebut. Pertama, sekalipun forum tetap menjadi forum anggota dewan, perlu dipikirkan untuk melibatkan masyarakat termasuk pelaku ekonomi yang konsern terhadap perwujudan pemberantasan KKN. Di sinilah justru forum memiliki nilai strategis karena dewan dapat menyerap ide-ide pembaruan dari luar atau mendapat banyak masukan serta data yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan partisipasi anggota. Melalui pelibatan masyarakat, dewan bisa medesiminasikan kegiatan dan gerakan Anti KKN. Karena itu, inisiatif pembentukan forum tidak mesti harus datang dari anggota dewan , tapi juga dari masyarakat yang peduli terhadap kerja dewan. Pentingnya keterlibatan masyarakat juga dalam hal penggalangan dana untuk keperluan forum.

Kedua, karena merupakan forum anggota dewan, maka yang harus dipikirkan adalah kepentingan-kepentingan dari dewan sendiri yang akan diperjuangkan melalui forum tersebut. Kepentingan anggota dewan tidak lain adalah peningkatan kapasitas kelembagaan agar para anggota dewan dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal. Pembicaraan tentang berapa honorarium dan fasilitas yang harus diterima anggota dewan hendaknya bukan merupakan pembicaraan yang tabu. Juga dalam hal ini soal penting tidaknya staf ahli dan hubungan dewan dengan sekretariat dewan. Sudah saatnya dewan harus terbuka dan realistis kepada masyarakat agar bisa dipikirkan secara bersama-sama.

Ketiga, kehadiran forum harus mengambil inisiatif untuk menyusun usulan kebijakan dan tindakan praktis dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan yang bebas KKN. Pada aras ini, sebetulnya forum juga bisa merupakan pintu masuk digulirnya Perda Anti KKN yang merekomendasikan adanya Badan/komisi Anti KKN. Karena forum terdiri dari anggota yang datang dari komisi dan fraksi, maka kegiatan dan program forum kemudian haruslah mendorong kebijakan-kebijakan yang anti KKN yang terjadi di bidang kerja komisi dan lembaga lainnya di DPR/DPRD termasuk sekretariat dewan.

Keempat, forum harus bersifat terbuka. Sebaiknya dipikirkan sejak awal bahwa memang sulit membangun sebuah forum yang eksklusif di tengah kelompok parlemen. Karena itu, keanggotaan forum harus bersifat terbuka. Siapa saja anggota DPRD bisa menjadi anggota forum. Justru yang harus dipikirkan dan dipersiapkan secara matang adalah fokus perhatian dan program-program kerja forum yang dibingkai dalam gerakan pemberantasan KKN. Di sinilah kehadiran forum menjadi tempat para anggota dewan membangun prilaku etisnya.

Koalisi LSM

KOALISI LSM bukanlah hal baru. Dari berbagai issu, para penggiat LSM dari berbagai latar lembaga berkumpul dan menjadikan satu issu menjadi issu bersama. Dalam hal advokasi sebuah kebijakan misalnya, koalisi-koalisi semacam ini bolehlah dibilang cukup efektif dan beberapa sudah menunjukkan prestasi. Namun jangan keliru, koalisi bukan semata-mata LSM dalam pengertian lembaga tapi juga kalangan akademisi, tokoh masyarakat, jurnalis dan berbagai latar profesi lainnya yang konsern terhadap satu issu. Di NTT pekerjaan semacam ini sudah sering dilakukan, bahkan beberapa LSM di NTT saat inipun bergabung dalam berbagai koalisi di tingkat nasional untuk advokasi kebijakan di DPR .

Apakah tidak mungkin LSM dan berbagai elemen masyarakat berkoalisi untuk gerakan pemberatasan KKN yang lebih luas? Jawaban bukan saja selalu mungkin tapi pernah dilaksanakan. Lepas dari kekuarangan yang harus dibenahi, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (GNTPB) yang ramai ketika menjelang pemilu 2004 adalah salah satu contoh koalisi masyarakat dalam gerakan pemberatasan KKN.

Namun demikian, ada beberapa kelemahan dari koalisi yang perlu diperhatikan. Salah satu kelemahannya adalah sering koalisi tidak bertahan lama. Setelah salah satu tujuan tercapai, koalisi dengan sendirinya dibubarkan. Atau karena beragamnya perhatian dari lembaga-lembaga yang tergabung umumnya koalisi lebih dipercayakan pada satu lembaga yang menangani. Akibatnya, koalisi semakin hari semakin berkurang anggotanya yang berarti pula melemahkan perjuangan yang digagas sejak awal.

Karena itu, menganggas koalisi yang besar dengan waktu yang panjang harus memikirkan faktor-faktor penunjang lainnya termasuk membuat koalisi tidak hanya milik dari satu lembaga. Membangun kepercayaan masyarakat untuk ikut serta dalam pemberantasan KKN adalah usaha yang jauh lebih penting dari hanya sekedar koalisi. Oleh karenanya, integritas pengelola dan lembaga, keakuratan data, kemampuan melakukan kampanye merupakan hal-hal yang perlu dipikirkan dalam gerakan bersama pemberantasan KKN.

Penulis , Anggota Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta

(Artikel ini pernah dikirim ke Pos Kupang, 9 Maret 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar