Pengenalan Calon Legislatif dan Partai Politik Peserta Pemilu 2004

Oleh : Benjamin Tukan

Upaya pengenalan terhadap siapa , bagaimana dan apa yang pernah dikerjakan wakilnya dan partai pilihannya sebelum dipilih atau dipilih lagi dalam pemilu 2004 merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Belajar dari proses pembahasan hingga disahkan 2 paket UU politik ( UU Partai politik dan UU Pemilu), dapatlah kita berpendapat bahwa kemunculan calon legislatif dan partai politik peserta pemilu nantinya masih di dominasi oleh orang lama atau mereka yang kini tengah duduk sebagai anggota legislatif. Orang lama tidak selamanya harus ditolak. Demikian juga orang baru tidak selamanya akan memenuhi segala harapan publik.

Itulah sebabnya,pengenalan dan pemahaman terhadap para calon penting dilakukan dalam proses politik. Sejarah akan selalu berulang bila pemilih tidak cukup memiliki pengetahuan tentang calon legislatif ini. Soalnya, Partai Politik peserta pemilu dan calon anggota legislatif ini akan selalu berusaha memberikan kesan yang baik terhadap pemilih dengan menampilkan slogan dan janji-janji kampanye yang menarik, sedang pada tingkat masyarakat pemilih tak satupun pengetahuan tentang bagaimana para calon ini sebelumnya berkiprah.

Memang disadari, sejak menguatnya keberadaan institusi parlemen pada era politik di zaman reformasi, banyak pihak, terutama NGOs, telah berupaya melakukan pemantuan lembaga legislatif ini. Ada yang melakukan penelitian, advokasi, dan juga penerbitan berbagai bahan mengenai pemantauan parlemen dalam bentuk buku atau bulletin. Di samping itu, media juga tidak kalah antusiasnya melakukan pemantuan dengan menuliskan berbagai berita seputar kinerja parlemen. Bahkan para jurnalis yang sehari-harinya melakukan pemberitaan mengenai parlemen mempunyai organisasi sendiri yang mereka namakan “Forum Wartawan DPR”. Forum ini bekerja cukup aktif dengan menerbitkan berbagai informasi tentang kinerja parlemen, mulai dari absensi anggota dewan sampai pengkajian RUU yang sedang dibahas di DPR. Media eletronik pun tidak kalah dalam upayanya memantau kinerja parlemen. Program “Parliament Watch” di Metro TV merupakan salah satu contoh bagaimana media ikut berpartisipasi dalam rangka melakukan kontrol terhadap parlemen. Hal yang sama juga berlaku untuk DPRD I dan DPRD II oleh NGO dan media lokal.

Mengamati perjalanan parlemen dan partai politik hasil Pemilu 1999, keberadaan parlemen selalu berangkat setidaknya empat kenyataan berikut ini. Pertama, ada klaim para wakil rakyat yang duduk di parlemen bahwa mereka telah dan dapat mewakili rakyat. Sekalipun klaim semcam ini sesungguhnya sah saja, namun akibat yang muncul adalah wakil rakyat enggan berkomunikasi dengan konstituennya. Bahkan janji-janji kampanye pada pemilu 1999 sudah bukan merupakan prioritas dalam menyusun agenda kerja. Sebaliknya yang terjadi adalah intrik-intrik politik antar fraksi dalam lembaga legislatif bahkan di antara individu sesama anggota wakil rakyat.

Kedua, pada tingkat produk legislasi yang dihasilkan sering tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat bahkan seringkali UU yang dibuat tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu, banyak peraturan yang dihasilkan bukannya memecahkan masalah bahkan hanya menambah masalah. Sering absennya para wakil rakyat dalam persidangan dan, isu suap yang berkembang dalam setiap pembahasan UU, persidangan yang bukan merupakan arena pengambilan keputusan karena keputusan sering terjadi di luar sidang merupakan indikasi lain yang semakin memperburuk wajah parlemen periode 1999 - 2004.

Ketiga, terkait dengan posisi kekuasaan dan fungsi kontrolnya. Lepas dari debat yang ada di bawah tafsir UUD 1945 mengenai fungsi legislatif , kenyataannya parlemen saat ini memiliki posisi kekuasaan terbesar dibandingkan dua pilar kekuasaan lainnya, yakni eksekutif dan yudikatif. Jika DPR secara legal dan resmi dapat mengkontrol pemerintah, dan menentukan posisi-posisi kunci di lembaga judikatif; maka sebaliknya kedua lembaga tersebut, menurut konstitusi, tak diberikan kewenangan lain untuk mengimbanginya. Kekuasaan ini semakin eksesif jika masyarakat warga tak memiliki akses untuk ikut serta mengawasi parlemen.

Keempat. lemahnya partai politik menjalankan fungsi komunikasi politik, dan mengagregasi kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat mengakibatkan perjalanan partai politik di tanah air hanyalah sebatas peserta pemilu. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme yang mengatur hubungan antara wakil partai dan partainya. Pemilihan pengurus partai tidak demokratis tapi berdasarkan penunjukkan dan tidak adanya tranparansi dalam tubuh partai.

Partai politik yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan para pemilihnya (konstituen) ternyata belum mampu menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi lebih mendengar suara dan keputusan para petinggi partai dalam menentukan suara politik mereka. Dengan kata lain, partai politik yang ada di era reformasi ini masih sangat bersifat elitis.

Jika partai politik belum dapat diharapkan untuk menjadi institusi yang dapat mengawasi kinerja parlemen untuk kepentingan yang lebih luas atau publik, bagaimana pemantauan kinerja parlemen secara transparan dan sistematik dapat dilakukan oleh publik?

Jakarta, Januari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar